ANBK adalah singkatan dari Asesmen Nasional Berbasis Komputer yang bukan jadi tolok ukur kelulusan siswa. Pun hasil ANBK tidak masuk dalam penilaian rapor. Tidak ada nilai individu yang didapat siswa-siswi setelah selesai mengerjakan soal-soal dalam ANBK.
Bagi sekolah ANBK amat penting, tapi bagi siswa dan orangtua ANBK dinilai tidak bisa dijadikan pendongkrak nilai rapor. Tidak bisa juga dikonversi jadi nilai tambah untuk masuk ke SMP atau SMA lewat jalur prestasi.
Bagaimana idealnya orangtua dan anak menyikapi ANBK tahun 2022 yang bakal dilangsungkan pada 24-27 Oktober besok?
Sekolah dan ANBK
Sesuai namanya, berbasis komputer, satu sekolah harus punya minimal satu komputer proktor (host) dan 15 komputer client dengan spesifikasi sistem operasi Windows 7 keatas, Linux, Chrome, atau Mac yang sudah ada akses internetnya.Â
SD tempat anak kami bersekolah, yang mengadakan gladi bersih ANBK pada 18 Oktober lalu, sampai meng-upgrade internet dengan kecepatan up to 100 Mbps supaya tidak terjadi lag saat 15 komputer jalan bersamaan selama pelaksanaan ANBK.Â
Paling penting diatas akses internet adalah ruang komputer. Kalau internetnya kencang, tapi tidak punya ruang komputer, lantas siswa mau disuruh ngerjain ANBK di mana? Di halaman sekolah pakai tenda?
Kemudian, bila satu sekolah harus punya belasan komputer dan internet, gimana nasib sekolah di pelosok desa yang tidak punya?Â
Statistik dari situs ANBK Kemdikbud menunjukkan di Kabupaten Magelang tempat kami tinggal, ada 57,65% SD/MI yang sudah melaksanakan ANBK secara mandiri. Sisanya 42,35% masih menumpang di sekolah lain. Itu sebab ANBK digelar selama 4 hari supaya sekolah yang punya komputer dan internet bisa gantian dengan yang tidak.
Sebenarnya saya kurang paham. Ada ANBK untuk mengukur input, proses, dan output pendidikan di Indonesia, tapi sarana dan prasarana pembelajarannya masih njomplang antara sekolah satu dengan lainnya.
Melansir laman kemdikbud.go.id, Asesmen Nasional dilakukan untuk mengukur sejauh mana mutu pendidikan di suatu sekolah. Tolok ukurnya adalah Asesment Kompetensi Minimun (AKM) yang mengukur literasi membaca dan literasi matematika (numerasi) peserta didik.
Bukan cuma peserta didik yang mengerjakan soal-soal ujian, ANBK juga digunakan untuk mengukur sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan para peserta didik di sekolah. Aspek input dan proses belajar-mengajar di kelas dan di tingkat satuan pendidikan juga diukur dan dinilai. Semuanya terangkum dalam survei karakter dan survei lingkungan sekolah.
Supaya kemampuan AKM Literasi dan AKM Numerasi tercapai, sekolah melatih siswa kelas 5, 8, dan 11 supaya terbiasa mengerjakan soal-soal ala ANBK, sejak lama sebelum daftar peserta ANBK dikeluarkan oleh Kemdikbud.
Maka bisa dibilang kalau ANBK amat penting bagi sekolah karena jadi pembuktian kualitas sekolah tersebut. Skor akumulatif yang dihasilkan sekolah akan menjabarkan kompetensi mana saja yang harus dipertahankan atau ditingkatkan. Apakah kompetensi gurunya, peserta didiknya, fasilitasnya, atau bahkan karakter guru dan peserta didiknya.
Siswa dan ANBK
Siswa yang dipilih mengikuti ANBK ada 30 peserta utama dengan 2 peserta cadangan dari siswa kelas 5, 8, dan 11 yang dipilih secara acak dari sistem di Kemdikbud, bukan dari guru sekolah. Peserta cadangan gunanya untuk menggantikan peserta utama yang tidak bisa mengikuti ANBK saat hari H.
Soal-soal ANBK yang harus dikerjakan peserta semuanya adalah soal cerita untuk AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) Literasi dan AKM Numerasi. Soal dibuat dalam bentuk cerita bertujuan untuk mengukur kemampuan berpikir logis siswa.
Karenanya soal ANBK mudah dikerjakan oleh siswa yang terbiasa membaca (buku, majalah, berita online dsb), tapi sulit dikerjakan oleh siswa yang jarang membaca.
Siswa yang jarang membaca cepat bosan saat mengerjakan soal cerita dalam ANBK karena otaknya tidak terlatih untuk berpikir secara lambat.Â
Berpikir lambat tidak sama dengan otak lemot, ya, tapi berkaitan dengan kemampuan kognitif.
Menurut Dr. Ahmad Susanto, M.Pd, penulis buku Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar yang dimuat dalam blog Gramedia, mengatakan bahwa membaca dapat melatih kemampuan kognitif anak. Kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian.atau peristiwa.
Maka tidak aneh kalau kebanyakan peserta ANBK mengerjakan soal dengan asal-asalan alias asal memilih jawaban yang tersedia, tanpa membaca soal dengan teliti. Mereka cepat bosan karena otak tidak dibiasakan berpikir secara lambat untuk membangun kontruksi logis dalam memproses suatu informasi, seperti yang terjadi saat kita sedang membaca buku.
Sebagian dari peserta ANBK di sekolah anak kami bahkan tidak mengerjakan soal sampai selesai saat gladi bersih karena kehabisan waktu.
Ketidaksukaan anak pada membaca dapat dimaklumi. Semua peserta ANBK di jenjang SD-SMA adalah Gen Z dan Gen Alpha yang secara alamiah memang lebih suka nonton TikTok, YouTube, dan nge-game. Yang paling sering mereka baca selain pelajaran sekolah adalah pesan WhatsApp.Â
Maka peran besar orangtualah yang menentukan apakah si anak senang membaca atau tidak.
Orangtua dan ANBK
Anak yang tidak terbiasa membaca dan mengerjakan soal ANBK secara asal-asalan diperparah dengan pandangan orangtua yang menganggap kalau ANBK tidak berguna buat kelulusan dan nilai rapor. Jadinya ANBK cuma dianggap angin lalu.
Wajar terjadi pemikiran seperti itu apalagi dari orangtua yang tidak terdidik secara akademis dan pola pikirnya sempit. Orangtua yang seperti itu masih menganggap kalau pendidikan anak sepenuhnya di tangan guru karena merasa itu sudah tugas guru.
Idealnya dengan menyekolahkan anak ke sebuah sekolah, maka orangtua juga jadi bagian dari warga sekolah. Mereka, secara langsung, ikut memikul tanggung jawab memberi pemahaman bahwa walau ANBK tidak masuk ke nilai rapor, tapi berguna untuk melatih daya pikir dan nalar.
Anak juga punya kesempatan besar memahami materi pembelajaran lebih baik lewat latihan ANBK dibanding kesehariannya yang cuma belajar karena ada PR dan kalau mau ujian saja.
Anak yang jadi peserta didik pun bagian dari warga sekolah. Mereka tidak cuma menerima hak mendapat pengajaran, melainkan juga melakukan kewajiban mewakili sekolah dalam kegiatan akademik dan non-akademik, termasuk berpartisipasi dalam ANBK dan menyelesaikan soal dengan tuntas, tidak dengan asal-asalan.
Warga Sekolah
Mutu sekolah bisa ditingkatkan, tanpa bantuan pemerintah, bila semua warga sekolah berkolaborasi dan melakukan hak dan kewajibannya secara seimbang.Â
Apalagi kompetensi guru sudah meningkat signifikan dengan adanya pelatihan profesional, termasuk adanya program guru penggerak.Â
Orangtua juga perlu meningkatkan kompetensinya dengan selalu memberi semangat tiap anak kesulitan dengan mata pelajaran tertentu, menguatkan mentalnya kalau ada temannya yang badung, dan tidak enggan berkomunikasi dengan wali kelas anak.Â
Guru jaman sekarang bakal senang hati menjawab apa pun pertanyaan orangtua. Malahan kita bisa follow-follow-an dengan guru di medsos tanpa merasa canggung bahwa yang kita follow adalah guru di sekolah anak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI