Kalau orangtua hanya menyerahkan semuanya ke sekolah, pendidikan anak jadi pincang. Pendidikan karakter juga akan alakadar karena si anak diajarkan bersikap baik di sekolah, tapi dibebaskan berbuat apa saja di rumah.
Sejak tahun ajaran dimulai sampai sekarang saya sering dengar orangtua mengeluh soal wali kelas anak di sekolah kami yang usianya masih 24 tahun. Baru lulus kuliah dan sedang prajabatan untuk jadi ASN. Banyak orangtua menganggap guru yang masih muda tidak kompeten mengajar dan tidak bisa tegas. Tegas yang bagaimana? Menerapkan kedisiplinan, sudah. Mencontohkan etika dan sopan-santun juga sudah.Â
Lagipula apa korelasinya usia muda dengan kompetensi? Toh, si guru adalah Sarjana Pendidikan SD yang belajarnya memang di urusan pendidikan sekolah dasar. Itu berarti dia kompeten. Kalau saya yang lulusan jurnalistik lalu jadi guru, itu baru namanya tidak kompeten.
Sebagai contoh, Putri Tanjung sudah menjalankan bisnis EO sendiri sejak SMA, terlepas dari dia anak konglomerat Chairul Tanjung. Pun para gamer dan pro-player rata-rata mencapai puncak karirnya di esports di usia 17-19 tahun. Jadi anggapan usia yang muda belum pantas jadi guru amatlah mengada-ada.
LKS
LKS (Lembar Kerja Siswa) atau yang sekarang disebut sebagai Modul, harganya cuma Rp10.000, tapi urusan LKS bisa membuat guru pusing kalau orangtua menolak membayar LKS.
LKS/Modul fungsinya ada tiga, yaitu:
- Melatih siswa mengerjakan soal-soal sesuai buku teks utama.Â
- Mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu materi.
- Mendongkrak nilai siswa karena masuk ke penilaian rapor.
Kalau orangtua menolak membayar LKS yang disediakan sekolah, bagaimana mendukung belajar anak? Orangtua yang menolak biasanya beralasan karena sudah bayar SPP, sumbangan pembangunan, iuran kelas, belum lagi uang jajan anak. Kalau disuruh beli LKS akan memberatkan keuangan orangtua.
Padahal harganya cuma Rp10.000. Paling mahal Rp15.000. Bapak stop dulu beli rokok, sudah kebayar itu LKS. Ibu tahan dulu jajan bakso, sudah kebeli itu Modul.
Iuran dan Sumbangan
Beberapa orangtua pernah mengeluh kalau uang sekolah anaknya (SD swasta) mahal dan memberatkan. Awalnya dia mengira kalau sekolah milik yayasan Islam itu tidak mahal-mahal amat. Ternyata SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) sampai Rp650.000 per bulan (di Kabupaten Magelang).
Karena itu para orangtua yang kaget mahalnya SPP di sekolah swasta kemudian memutuskan anak kedua dan seterusnya akan disekolahkan ke negeri supaya murah.Â