Kehilangan terbesar saya yang pertama adalah saat adik perempuan meninggal pada 25 Januari 2021 lalu karena penyakit Cushing Syndrome. Di hari terakhir hidupnya ternyata dia juga positif Covid.
Sejak kematian adik bungsu kami, adik laki-laki saya tidak bisa tidur, selalu was-was jika mendengar ponselnya berbunyi, sering pusing, tidak bisa konsentrasi ke pekerjaan, hilang nafsu makan, dan sakit asam lambungnya sering kambuh.
Setelah dokter yang memeriksanya memastikan tidak ada penyakit berbahaya di tubuhnya, kecuali asam lambung yang mengarah pada GERD, dia diminta memeriksakan ke psikolog. Hasilnya dia didiagnosis mengidap gangguan kecemasan (anxiety disorder) yang dipicu oleh kematian adik kami.
Kehilangan terberat yang kedua buat saya adalah pada 15 Juli 2021 sepupu dari garis ibu berpulang karena Covid. Dia terlambat dapat penanganan karena harus menunggu ada tempat tidur yang kosong di RS Jakarta dan Depok.Â
Sepupu saya itu sudah saya anggap kakak kandung karena waktu kecil saya sering dititipkan di rumah ibunya selagi ibu saya di kantor. Kami saling berbagi hampir semua hal sampai dewasa.
Tragisnya lagi, hari ini ayahnya ikut meninggal karena jantungnya tidak dapat diselamatkan usai terpapar virus Corona.
Beruntung, saat kehilangan saudara kandung, sepupu, adik ipar, kakak ipar, dan paman secara beruntun, saya masih bisa tidur, makan-minum, dan membimbing anak-anak mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dari sekolah meski air mata terus tumpah, jadi tidak sampai harus ke psikolog.
Ditinggal mati orang yang kita sayangi nyatanya dapat memicu Post-traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma, terlebih jika kita menjadi saksi kematian seseorang atau mengalami kejadian yang menyebabkan orang lain meninggal.
Menurut Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris, PTSD adalah gangguan kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa yang sangat menegangkan, menakutkan, atau menyedihkan.
Belum ada definisi tentang gangguan stres pascatrauma dari Kementerian Kesehatan RI. Situs kedokteran seperti alodokter, klikdokter, dan halodoc memuat definisi, gejala, dan penanganan PTSD dari situs luar negeri.
Gejala orang yang akan mengalami PTSD secara kasat mata dapat berupa:
- Sering marah, tegang, atau gelisah.
- Muncul gejala fisik seperti jantung berdebar, berkeringat atau hiperventilasi.
- Kilas-balik trauma atau memikirkan apa yang mungkin dialami orang tersebut di saat-saat terakhir mereka.
- Penghindaran terus-menerus dari hal-hal atau peristiwa yang mengingatkan kita pada orang yang meninggal atau tempat di mana tragedi itu terjadi.
- Mengalami masalah tidur atau mimpi buruk.
- Mengubah rutinitas pribadi untuk menghindar dari ingatan terhadap orang yang sudah meninggal.
- Perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri atas peristiwa kematian seseorang.
Sama seperti adik lelaki saya yang mana adik perempuan kami meninggal di mobilnya saat menuju IGD, saya sendiri jadi saksi atas kematian adik ipar saya. Adik ipar meninggal pada 18 April 2021 di pangkuan saya saat saya dan suami dalam perjalanan ke IGD.
Peristiwa itu, Alhamdulillah tidak sampai memicu trauma, karena adik ipar saya sakit kanker stadium lanjut. Kami sudah ada firasat melihat kondisinya yang makin hari makin buruk.
Kehilangan orang yang kita sayangi mau tidak mau membuat hidup kita berubah. Perubahan ini belum tentu bisa diterima oleh orang yang ditinggal mati.
Itu juga salah satu yang memicu terjadinya gangguan kecemasan.
Orang dengan gangguan kecemasan (anxiety disorder) bila dibiarkan dia akan mengidap gangguan stres pascatrauma, yang merupakan masalah mental yang lebih berat.
Dalam keadaan emosional yang tinggi, seseorang bisa kuatir dan ketakutan sampai rasa takut dan kuatir itu berlebihan dan tidak masuk akal.
Idealnya datang atau berkonsultasi ke psikolog adalah jalan mengatasi anxiety disorder sebelum jadi PTSD, tapi tidak semua orang punya uang atau kenal yang namanya psikolog.
Hal yang dapat kita lakukan untuk membantu seseorang yang berduka agar tidak mengalami gangguan kecemasan adalah membuatnya selalu tenang, dengan cara:
1. Telepon orang yang tengah berduka seminggu setelah pemakaman. Jika memungkinkan, datangi rumahnya dan tanyakan keadaannya. Tawarkan bantuan kepadanya dalam bentuk apapun.
Jika dia punya anak kecil atau keponakan yang tinggal serumah, bawakan mainan atau makanan untuk si anak.
Pada waktu inilah rasa kehilangan lebih terasa karena di hari-hari sebelumnya mereka masih sibuk menerima pelayat (jika tidak dalam kondisi pandemi) dan belum terlalu merasa kehilangan.
2. Jika mereka menelpon atau chatting kepada kita tentang perasaan ditinggal orang tersayang, katakan kita mengerti apa yang dirasakannya karena pernah merasakan kehilangan.
Bagilah sedikit tentang pengalaman kita ditinggal mati orang dekat, tapi jangan malah balik kita yang asyik cerita. Pada saat itu dialah yang sedang berduka, bukan kita.
3. Ceritakan sedikit kenangan baik jika kita punya pengalaman berinteraksi dengan mendiang. Hal itu akan menguatkannya bahwa ada orang lain yang juga kehilangan.
4. Jika dia sudah terlihat kuat dan dapat melanjutkan hidup, katakan bahwa jika dia butuh bantuan tidak usah ragu untuk datang kita kapan saja.
Meski hanya basa-basi tawaran seperti itu meyakinkannya bahwa dia tidak sendiri dan punya tempat lain untuk bersandar, walau status kita keluarga jauh atau teman dan tetangga, bukan keluarga dekat.
Dalam Islam, kematian adalah takdir Allah yang termasuk dalam rukun iman, namun tidak semua orang kuat dan dapat menerima jika kematian orang tersayang datang kepada mereka.Â
Daripada menyalahkan karena mereka kurang iman, lebih baik bantu mereka supaya terhindar dari penyakit mental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H