Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Royalti Bukanlah Pajak, Sekadar Uang Lelah untuk Musisi dan Penyanyi

7 April 2021   15:47 Diperbarui: 7 April 2021   15:58 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

Beberapa Kompasianer pernah sangat kecewa dan marah ketika mendapati tulisan mereka tayang di media lain tanpa izin. Mengapa? Karena untuk melahirkan rangkaian kata-kata menjadi tulisan itu butuh mikir, kadang sampai memeras otak bagaimana menciptakan tulisan tanpa menyakiti siapapun namun tepat sasaran dan pesan tersampaikan.

Semua hasil tulisan yang dibuat oleh Kompasianer di Kompasiana adalah Hak Cipta yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan komersil oleh siapapun, tanpa izin.

Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, atau hal lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Maka itu, sama seperti penulis buku, para pencipta lagu juga dapat royalti dari karya musik yang mereka hasilkan. 

Sekarang kafe, pub, klub malam, karaoke, hotel, restoran, supermarket, kereta, mal, salon, dan semua tempat komersil wajib membayar royalti untuk lagu yang mereka putar di tempat usahanya, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2021 lalu.

Tapi ... tapi, warung kopi saya tiap hari nyetel lagu Blackpink, itu kan lagu Korea, berarti enggak usah bayar royalti, kan? Semestinya, sih, bayar, namun UMKM dapat keringanan untuk membayar royalti ini. 

Selama ini pencipta lagu asing (termasuk K-Pop) mendaftarkan lagu mereka ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) bernama Karya Cipta Indonesia (KCI).

Nantinya LMK-KCI mendistribusikan royalti melalui Collective Management Organization (CMO) di negara tempat asal si pencipta lagu.

Warung dan rumah makan skala mikro bisa juga menyiasati urusan royalti ini dengan memperdengarkan siaran radio alih-alih memutar lagu dari speaker sendiri. Radio itu yang membayar royalti atas lagu-lagu yang diputar di stasiunnya, bukan pemilik warung.

Ahh, gak asik! Kalau gitu ganti ajalah dengan musik campursari dan dangdut. 

Sebagian besar pencipta lagu campursari (termasuk Didi Kempot) dan dangdut (termasuk Rhoma Irama dan Via Vallen) sudah menjadi anggota dan menguasakan royalti karya mereka ke LMK (Lembaga Manajemen Kolektif). Maka yang memutar lagu-lagu dangdut dan campursari (untuk keperluan komersil) tetap harus bayar royalti.

Di negara kita, LMK ada dua jenis, yaitu:

1. LMK Hak Cipta yang menghimpun dan mendistribusikan royalti pencipta atau pemegang hak cipta dari karya yang didaftarkan.

LMK yang mengurusi hal tersebut ada KCI (Karya Cipta Indonesia), WAMI (Wahana Musik Indonesia) dan RAI (Royalti Anugrah Indonesia). 

2. LMK Hak Terkait yang menghimpun dan mendistribusikan royalti pelaku pertunjukan seperti musisi dan produser dari karya yang didaftarkan. 

Lembaga yang mengurusi hal ini ada PRISINDO (Performer's Rights Society of Indonesia), PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia), SELMI (Sentra Lisensi Musik Indonesia), ARDI (Anugrah Royalti Dangdut Indonesia), ARMINDO (Anugrah Royalti Musik Indonesia), dan SMI (Star Music Indonesia)

Semua LMK itu kini sudah berada dibawah koordinasi LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) setelah pada kurun 2016-2018 terjadi selisih paham antara LMK dengan LMKN tentang aturan penarikan royalti.

Pada satu lagu biasanya ada banyak orang yang terlibat karena ada yang membuat lirik, aransemen, dan komposisi musiknya. Orang-orang itu menghasilkan karya yang membuatnya tidak seperti bikin nasi goreng. Maka PP Nomor 56 Tahun 2021 menguatkan posisi mereka atas royalti yang merupakan hak ekonomi para musisi tersebut.

Pada Hari Musik Nasional 9 Maret 2020 tahun lalu, penyanyi sekaligus pencipta lagu yang dapat royalti paling besar dari PRISINDO adalah Raisa, Via Vallen, Didi Kempot, Iwan Fals, dan band Ungu. 

Royalti yang dibagikan itu bukan berasal dari penjualan lagu, namun berasal dari performing rights atau hak untuk mengumumkan karya ke ranah publik.

Ketika sebuah karya rekam diperdengarkan untuk kepentingan komersial, para pengguna tersebut wajib membayar royalti performing rights pada pencipta lagu, penyanyi yang merekam karya tersebut, dan produser.

Duh, apa-apa bayar, ini-itu bayar, matre amat ini negara!

Royalti adalah "uang lelah" kepada musisi yang menciptakan, memproduksi, dan memopulerkan sebuah lagu. Jadi bukan seperti pajak yang dipungut negara. Kalau tidak mau bayar royalti, kita boleh saja menciptakan lagu sendiri yang disebarluaskan kepada siapapun untuk tujuan apapun, tanpa harus izin kepada kita.

Lagipula, pendapatan musisi Indonesia dari royalti termasuk kecil dibandingkan negara-negara ASEAN (kecuali Timor Leste).

Namun sayang, PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan/atau Musik ini belum mengatur tentang individu atau grup yang meng-cover lagu di platform digital seperti YouTube dan Tiktok. 

Padahal aktivitas cover lagu di YouTube massive dan ada kepentingan komersil disana. Seseorang dan grup yang menyanyikan lagu milik musikus dan penyanyi terkenal di YouTube hampir pasti menginginkan banyak view dan subscriber yang lalu menghasilkan uang bagi mereka.

Selagi belum ada aturan yang mewajibkan peng-cover lagu membayar royalti, baiknya sebelum upload ke YouTube, mereka izin dulu kepada pencipta lagu, penyanyi, atau produser yang memiliki hak cipta dan hak ekonomi atas lagu tersebut.

Lain halnya dengan YouTuber yang meng-cover lagu, pembayaran royalti tidak bakalan dibebankan kepada penyanyi kafe karena royalti akan ditagih ke pemilik kafe, bukan ke band dan penyanyi di kafe.

Lalu bagaimana dengan penyanyi dan organ tunggal di acara pernikahan? Yang membayar royalti adalah pemilik usaha organ tunggal, bukan si pengantin dan penyelenggara pernikahan. Kalau si penyanyi dan organ itu berasal dari keluarga mempelai sendiri dan tidak untuk tujuan komersil, juga tidak wajib bayar royalti.

Jadi, kalau cuma genjrang-genjreng di kost dan tongkrongan, sih, gak perlu bayar royalti, wong untuk senang-senang bukan komersil, to?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun