Harga cabai rawit merah sekarang sedang tinggi, lebih dari Rp100rb per kilogram. Apakah mahalnya cabai bikin makmur petaninya? Iya, tapi kebanyakan tidak.
Beberapa petani di desa saya dan desa tetangga sedang ketiban buntung. Minggu lalu tanaman cabai di sawah mereka tiba-tiba habis tak bersisa, dibabat sampai hanya tinggal pangkal batang. Padahal mereka baru sekali panen.
Tanaman cabai di sawah dipanen 2 hari sekali. Di sela waktu panen itu ada rampok yang membabat habis tanaman cabai para petani.
Pada waktu semalam saja, di desa saya, ada tiga petak sawah cabai rawit merah yang kerampokan. Di dua desa tetangga, berdasarkan obrolan dari anggota kelompok tani, total ada empat petak sawah yang juga dibabat maling.
Satu petak sawah luasnya sekitar 1000 meter persegi dan dapat ditanami sekitar 1500 pohon cabai. Bila satu pohon menghasilkan total satu kilogram cabai rawit merah, coba hitung sendiri berapa kerugian para petani itu? Sungguh pilu.
Menanam cabai rawit merah di sawah tidak semudah menanam di polybag. Menanam di sawah perlu perlakuan khusus.
Pada setiap sepetak sawah petani butuh 2-3 jenis obat anti hama dan jamur yang dicampur bersama air ke dalam tangki semprot. Obat pada satu tangkinya seharga Rp45rb untuk satu kali penyemprotan. Saya hanya menulis cabai nonorganik, ya, bukan organik yang perawatannya tentu beda.
Petani membutuhkan 15 kali penyemprotan yang berarti Rp45rb dikali 15, yaitu Rp675.000.
Selain obat, pupuk kandang juga diperlukan. Pupuk kandang tidak gratis. Petani harus beli kotoran sapi atau kambing ke para peternak. Normalnya untuk setiap satu pohon perlu 3 kg pupuk kandang.
Lalu yang sama pentingnya, ada biaya upah buruh dan biaya membuat bedengan yang di dalamnya ada biaya beli plastik penutup dan patok bambu juga.
Jadi kalau sawahnya dirampok, jangankan balik modal, malahan si petani bisa berutang untuk modal menanam di sawahnya lagi.
Lagi pula, kalau harga sayur-mayur di pasaran sedang tinggi, tidak serta-merta petani untung besar. Mayoritas petani tidak menjual langsung sayurnya ke pasar, tapi lewat pengepul. Pengepul memberi harga belakangan ke petani, dengan alasan menunggu harga pasar.
Keesokan harinya baru pengepul membayar sayuran petani. Ada pengepul yang ambil untung banyak, sedang, ada juga yang ambil untung sedikit saja.Â
Jadi distribusi yang panjang adalah salah satu hal yang membuat petani jarang menikmati mahalnya harga komoditi yang mereka tanam.
Punya mata pencaharian sebagai petani bukannya tak bisa kaya, kalau punya lahan luas berhektar-hektar. Namun kalau hanya punya sepetak dua petak sulit mengharapkan untung berlimpah. Apalagi banyak petani yang hanya jadi penggarap. Menyewa tanah orang lain atau menggarap tanah dengan sistem bagi hasil.Â
Kalau petani diminta untuk memodernisasi cara mereka bertani, tidak semua bisa, tergantung geografi tanah dan pola pikir petani itu sendiri. Ada lahan padi yang bisa dipanen otomatis menggunakan mesin, ada juga lahan yang harus dipetik manual terutama di perbukitan.
Pencurian komoditas pertanian sering dialami petani di kecamatan tempat saya tinggal, tergantung komoditi apa yang sedang mahal di pasaran. Suami saya juga pernah dua kali kemalingan. Pertama saat menanam melon, kedua waktu menanam semangka.
Para pencuri itu bukan kelas teri yang hanya mengambil belasan kilo. Dugaan kami mereka pakai mobil bak untuk menggasak habis sawah orang.
Apakah petani yang kerampokan itu lapor ke polisi? Tidak. Percuma, komoditas yang dicuri tidak bakal balik. Di kantor polisi pun paling hanya dicatat terus disuruh pulang, begitu kata mereka.
Meski sering mengalami kesulitan, para petani Indonesia tetap "istiqomah". Mereka menanam, merawat, dan memanen, tidak peduli harga sedang murah atau mahal. Selain untuk menafkahi keluarga, apa yang ditanam petani, langsung atau tidak, juga memberi makan banyak masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H