Ketika kita melampiaskan emosi di media sosial maka bakal ada teman atau kerabat yang memberi komentar. Kalau komentarnya negatif justru dapat menambah stres dan tidak menyelesaikan masalah.Â
Curhat di medsos juga sama saja menelanjangi diri sendiri karena kehidupan kita dan orang-orang disekitar akan diketahui publik.
Nah, inilah canggihnya perusahaan medsos. Untuk mengakomodir orang yang ingin curhat, dibuatlah fitur gembok dan pengaturan privasi yang ketat, seperti gembok kecil yang ada pada buku harian jaman dulu.
Jadi, meski internet adalah milik semua orang, kita tetap bisa mengatur siapa saja yang boleh melihat isi medsos kita.
Akan tetapi, ada orang yang sengaja tidak menggembok dan mengatur privasi akunnya meski isi curhatannya sangat pribadi dan vulgar.
Orang-orang yang demikian bisa saja mengidap factitious disorder by internet (gangguan buatan oleh internet).
Dahulu gangguan buatan ini sering dilakukan oleh pasien di rumah sakit. Mereka pura-pura sakit untuk mendapatkan perhatian medis. Kini factitious disorder merambah ke media sosial. Pengguna sering mengeluh sakit perut, sakit kepala, sampai sakit hati di media sosial untuk mendapatkan perhatian alias caper.
Saya juga punya teman masa sekolah yang mengaku leukemia dan kebetulan dia sering izin sakit. Ternyata kata ibunya dia tidak punya sakit apa-apa, sehat walafiat.
Kalau kita punya akun medsos yang digembok atau diatur ketat privasinya, sebenarnya privasi kita hanya aman dari mata orang-orang, namun data-data email, tanggal lahir, nomor ponsel, dan lokasi kita berada tetaplah rentan jatuh ke pihak lain.
Data-data kita di medsos tersimpan di server perusahaan medsos. Andai ada yang membajaknya, data kita akan dicuri dan digunakan untuk kepentingan marketing, riset, politik, atau kejahatan siber.
Maka dari itu berceloteh di medsos boleh saja, asal akunnya digembok, eh, yang penting curhatnya tidak kelewatan.