BPOM-nya Amerika Serikat (FDA) sampai saat ini belum menyetujui ganja sebagai obat kanker. Tetapi pasien tumor otak diperbolehkan mendapat pengobatan dari cannabidiol. Cannabidiol adalah senyawa kimia yang ada dalam tanaman ganja (cannabis).
Sedangkan di beberapa negara Uni Eropa, pasien kanker stadium akhir dan penderita AIDS boleh mengisap atau menghirup ganja untuk meredakan mual dan muntah serta memperbaiki nafsu makan.
Karena manfaat obatnya itu Kementerian Pertanian memasukkan ganja sebagai tanaman obat yang dikukuhkan dalam Kepmentan Nomor 104 Tahun 2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian.Â
Pada akhirnya Kepmentan itu dicabut karena jadi kontroversi dan tentu saja bertentangan dengan UU No. 35 Tahun 2009.Â
Undang-undang adalah produk hukum tertinggi ketiga setelah UUD 45 dan Tap MPR dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia.
Setelah PBB menerima rekomendasi WHO yang mengeluarkan ganja dari daftar obat paling berbahaya di dunia, akankah Indonesia mengikuti jejak Thailand, Kamboja, Laos, dan puluhan negara lain di dunia melegalkan ganja untuk keperluan medis (dan) rekreasi?
Jangan happy dulu, para penikmat ganja.
Indonesia sudah menolak dan menegaskan tidak ada rencana untuk melegalkan penggunaan ganja.Â
Negara kita akan membawa sikap ini ke Expert Comittee on Drug Dependence (ECDD). ECDD adalah badan penasehat ilmiah untuk WHO yang terdiri dari sekelompok ahli independen di bidang obat dan obat-obatan serta kewajiban ketergantungan obat.
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), varietas ganja yang tumbuh di Indonesia memiliki kandungan THC (tetrahydrocannabinol) yang tinggi yaitu 18% dengan cannabidiol hanya 1%.Â
Kandungan THC sangat berbahaya karena bersifat psikoaktif. Psikoaktif adalah zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan berpengaruh kepada sistem saraf pusat yang berakibat terjadinya perubahan kesadaran, emosi, dan perilaku.Â