Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Penulis generalis. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pola Pikir dan Ketidaksiapan Orangtua bersama Kambing Hitam PJJ

31 Oktober 2020   10:40 Diperbarui: 1 November 2020   03:07 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Belajar di masa pandemi. (Diolah dari sumber: exploretransplant.org - Canva/yanahaudy)

Apa yang terpikir di benak Anda jika membaca judul berita di media massa: "Anak Bunuh Diri Akibat PJJ"?

Marah, iya. Sedih, tentu. Miris, juga. Prihatin, pasti. Kepada siapa? 

Ketika para ibu sedang hamil, mereka sering diberi nasehat oleh orang tua, bidan, dokter, tenaga kesehatan, atau kerabat bahwa ada pantangan tertentu untuk mencegah si anak cacat fisik dan mental ketika lahir, pun untuk menjaga ibu tetap sehat saat hamil hingga melahirkan. 

Misal, jangan makan durian nanti keguguran karena durian panas diperut dan mengandung gas. Atau, jangan banyak minum es nanti bayinya besar sulit melahirkan normal. 

Demikian halnya para psikolog anak sering memberi pengetahuan bahwa pendidikan anak yang utama ada di rumahnya sendiri. Dalam dunia kedokteran dan religi dikenal dengan istilah golden age, dimana anak sangat disarankan, selain mendapat gizi yang baik, juga pendidikan agama dan karakter sediri mungkin.

Misal, bagi yang Islam, diperdengarkan murotal sejak dalam kandungan, ayah-ibunya rutin membaca ayat-ayat suci Alquran, dan diberi Air Susu Ibu dari lahir hingga anak berusia dua tahun.

Namun ketika anak sudah masuk ke sekolah dasar, mengapa pendidikan di rumah untuknya berhenti?

Kan, sudah bayar sekolah mahal-mahal-mahal, kenapa saya harus repot mendidik dan mengajari anak lagi, toh sudah ada guru. Urusan belajar dan ilmu ya tugas guru di sekolah.

Begitu ya pemikiran kita.

Entah bagaimana mula dan asal-usulnya, konstruksi pemikiran yang menganggap bahwa pendidikan (akademis, karakter, dan agama) semata tanggung jawab guru dan sekolah masih nyata di negeri tempat kita tinggal ini. 

Orang tua maunya terima beres dengan hasil anak mereka pandai, berbudi luhur, dan bermasa depan cerah. Pertanyaan klise orang tua untuk membuktikan kalau mereka peduli dengan pendidikan anak adalah, "Tadi di sekolah ngapain aja?" dan "Sudah kerjain PR, belum?"

Apa itu cukup? 

Kontruksi berpikir yang "memasrahkan pendidikan anak pada sekolah" inilah yang membuat orang tua kalang-kabut ketika secara mendadak sekolah ditutup dan orang tua "dipaksa" jadi guru untuk anaknya.

Orang tua yang bijak selanjutnya akan lebih menghargai profesi guru karena menyadari betapa beratnya ternyata menjadi seorang pengajar. Menjelaskan proses terjadinya hujan dan mencari contoh huruf idgham bighunnah dalam surat Alquran ternyata tidak semudah menceritakan sinopsis drama Korea.

Dan orang tua yang keukeuh pada keyakinan bahwa "pendidikan adalah urusan sekolah" selanjutnya akan mencaci-maki guru, sekolah, PJJ, pemerintah, corona, kuota, sinyal, dan pulsa untuk menutupi kekagetan mereka bahwa mendidik anak dengan pengetahuan formal ternyata sangat sulit.

Tapi hal diatas tentu tidak berlaku bagi orang tua yang lebih dulu sudah menerapkan model home schooling untuk pendidikan anak-anak mereka.

Siswa-siswi yang stres karena karena pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini, saya katakan, bukan stres karena bejibunnya tugas dari sekolah. Banyak dari mereka stres karena tekanan dari orang tua.

Orang tua ingin anak mengerjakan PR tepat waktu tapi tidak mau tahu apa materi PR apa yang diberikan kepada mereka.

Orang tua maunya anak melihat saja materi pembelajaran dari YouTube tapi tidak mau tahu video pembelajaran itu tentang apa. Kadang anak bosan dengan kondisi tidak bisa ke sekolah tapi mereka tidak punya tempat bercerita, hanya bisa chatting dengan teman. 

Kalau ada materi pembelajaran yang sulit, mereka tidak punya tempat bertanya, diskusi, atau sekedar untuk melepas unek-unek. Akibatnya anak jadi merasa sendirian menghadapi PJJ.

KPAI menyoroti kasus tiga siswa yang bunuh diri karena stres dengan pembelajaran jarak jauh. Mereka stres karena tugas yang banyak. Orang tua merekapun, diakui komisioner KPAI Retno Listyarti, juga tidak punya kemampuan untuk membimbing anak karena tidak mengerti materi pembelajarannya.

Tapi dari mana anak-anak itu punya pikiran untuk bunuh diri? Satu diantaranya bahkan baru berusia 8 tahun. Dari mana anak 8 tahun sudah punya pikiran untuk bunuh diri? 

Apakah di sekitar mereka sudah orang yang bunuh diri sehingga mereka "terinspirasi" dari sana? 

Atau dari Facebook dimana pernah ada orang yang menyiarkan bunuh dirinya secara live? Atau dari berita-berita tentang bunuh diri? Atau dari film, medsos, dan cerita-cerita teman?

Kalau anak sudah dekat dengan orang tuanya sejak sebelum ada PJJ, rasanya sulit membayangkan mereka akan bunuh diri, karena sesulit apapun PJJ orang tua pasti akan mengkondisikan dan memfasilitasi si anak agar nyaman pada PJJ untuk mendukung kelancaran proses belajar.

Si bapak yang mengantar anaknya ke kantor Koramil setiap pagi supaya anaknya dapat belajar online menggunakan fasilitas WiFi disana, adalah salah satu contoh kecil orang tua yang mendukung kelancaran anak pada PJJ.

Ada satu murid di sekolah anak saya yang ibunya buta huruf (benar, ini nyata, buta huruf!) dan ayahnya yang tukang ojek setiap dua kali seminggu menemui guru di sekolah untuk minta diajarkan matematika dan agama Islam. Hal itu dilakukan sang ayah supaya dia bisa mengajari anaknya agar kemampuan si anak tidak kalah dengan teman sekelasnya.

Di sisi lain, banyak juga orang tua yang membebaskan anak mereka. Mau belajar atau tidak, mau mengerjakan tugas atau tidak, terserah si anak, toh anak sudah gede. Akibatnya anak malah tidak terarahkan, keluyuran kemana-mana atau malah tidur seharian.

Hal diatas juga sama, berawal dari pola pikir "pendidikan dan pengajaran adalah urusan sekolah dan guru".

Anak yang mati dibunuh ibunya beberapa waktu lalu juga bukan karena PJJ. Si ibu yang sejak sebelum ada PJJ ada tekanan hidup, melampiaskan amarahnya ke anak dengan alasan anak tidak mau disuruh belajar.

PJJ digunakan sebagai pembenaran atas perlakuan biadab tersebut, sebagaimana Suheri membunuh Rahmawati Sarwodadi dengan garpu. Bukan garpunya yang salah tapi Suherinya yang jahat.

Lalu kenapa sekolah tidak diliburkan saja sih? PJJ cuma bikin stres, kan.

Pemerintah dan sekolah punya tanggung jawab supaya hak anak akan pendidikan terpenuhi dengan kompetensi dasar yaitu kompetensi numerasi, literasi, dan pendidikan karakter. 

Itulah sebabnya meski sekolah tutup namun siswa tetap diberikan tugas dan materi lewat bermacam cara (video, audio, dan e-book) selama pandemi, supaya hak anak dapat pendidikan tetap terpenuhi dengan cara belajar dari rumah.

Belajar dari rumah sebenarnya bukan hanya belajar saat mengerjakan tugas dari guru saja, melainkan belajar tentang hidup. Jika punya hewan peliharaan, anak dapat diajarkan untuk lebih telaten mengurusnya. 

Bila menyukai hobi tertentu anak bisa diarahkan untuk mendalami hobinya kearah yang lebih maju. 

Kalau anak bosan dengan hobi lamanya bisa dikenalkan dengan sesuatu yang baru. Atau kalau anak tidak punya hobi, bimbing dia mempelajari ajaran agama supaya pendidikan karakternya terpenuhi.

Belajar dari rumah sudah berjalan hampir delapan bulan, jadi kita sudah beradaptasi dan mestinya juga sudah menemukan cara yang tepat mendampingi anak supaya mereka tidak terus merasa sendirian menghadapi PJJ. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun