Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pesan di GoFood, GrabFood, dan ShopeeFood Lebih Mahal Karena Resto Mengutip Biaya Bagi Hasil

27 Oktober 2020   12:59 Diperbarui: 6 Juli 2021   10:10 6260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Restoran bintang Michelin Le Bernadin New York (timeout.com)

Hujan, banjir, mager tapi laper? Pesan makan online saja! Eh, tapi kok harganya lebih mahal dari harga kalau kita makan di sana?

Gojek dan Grab selaku penyedia layanan pesan-antar makanan online mengutip biaya bagi hasil sebesar 20% dari setiap transaksi.

Info ini saya dapat dari 9-10 pemilik rumah makan di seputaran kecamatan Borobudur, Mungkid, dan Muntilan di Kabupaten Magelang.

Jadi dari setiap transaksi yang terjadi lewat GoFood dan GrabFood, Gojek dan Grab akan mengutip bagi hasil sebesar 20% yang ditagih setiap akhir bulan ke restoran dan rumah makan yang bersangkutan.

Karena itulah para pemilik rumah makan menaikkan harga menu mereka di GoFood dan GrabFood lebih mahal Rp3000-Rp4000 dari harga asli. Kalau tidak dinaikkan, bagi hasil 20% itu akan menggerogoti margin keuntungan, demikian yang mereka bilang.

Benarkah bagi hasil itu menggerus laba? Mungkin benar tapi tidak seratus persen tepat.

Rumah makan yang menaikkan harga di aplikasi akan mempengaruhi psikologis (calon) pembeli.

Pembeli akan berhitung, misal, untuk membeli dua porsi soto ayam harus mengeluarkan kocek Rp30rb, sedangkan harga jika makan di tempat atau bawa pulang hanya Rp24rb.

Dengan demikian akan terbayang bahwa harga di aplikasi terlalu mahal walau sebenarnya kalau kita makan di tempat atau bawa pulang bisa jadi uang yang kita keluarkan lebih besar dari Rp30rb itu untuk bensin, parkir, dan biaya tidak terduga lainnya.

Ini yang mungkin jadi sebab restoran franchise macam McD, KFC, Olive Chicken, Rocket Chicken, Pizza But, dan lainnya tidak pernah sepi dari pesanan online. 

Itu karena mereka tidak menaikkan harga. Harga yang tertera di restoran sama dengan harga di aplikasi (meskipun ada franchise yang memberlakukan biaya take away). Rasa makanan dan minumannya pun sudah teruji.

Semestinya, sama seperti restoran, rumah makan juga tidak menaikkan harga karena omzet bisa dikejar untuk menutup biaya bagi hasil untuk Gojek dan Grab.

Sebagai informasi, rumah makan biasanya dikelola secara kekeluargaan dan tidak terikat pada standard operating procedure (SOP) apapun. 

Sedangkan restoran dikelola secara profesional dari sisi manajemen, standar kualitas bahan makanan, dan dekorasi interior biasanya disesuaikan dengan menu yang disajikan, misal western food, Javanese cuisine, oriental cuisine, dan sebagainya.

Rumah makan punya dua pilihan dalam menghadapi ketatnya bisnis kuliner di aplikasi:

  1. Menaikkan harga tapi omzet stagnan.
  2. Tidak menaikkan harga tapi omzet bisa berlipat.

Dari dua cara diatas jika dikalkulasikan maka cara kedua punya peluang profit lebih besar karena rumah makan bisa memanfaatkan peluang dari musim hujan yang sedang berlangsung saat ini.

Orang biasanya malas keluar rumah, malas gerak, dan memilih untuk tetap rebahan saat hujan sedang turun. Harga menu di aplikasi yang sama dengan harga di tempat sangat mungkin membuat orang membeli lagi makanan di rumah makan itu, apalagi kalau cita rasanya lezat.

Makin banyak orang yang beli berarti omzet meningkat. Omzet yang meningkat berarti profit juga tambah besar dan pada akhirnya dapat menutup bagi hasil 20% yang diminta Gojek dan Grab, tanpa menaikkan harga.

Selain itu kepercayaan konsumen tetap terjaga karena rumah makan ternyata dapat mempertahankan reputasi soal harga.

Halah, rumah makan, kan, untuk ngasih makan orang yang lapar. Kalau lapar orang akan datang sendiri tidak memikirkan reputasi, yang penting kenyang.

Well, rumah makan kecil lama-lama bisa jadi restoran bintang Michelin, siapa tahu, kalau dikelola dengan benar. Kalau hanya asal-asalan hanya dalam hitungan bulanpun rumah makan itu bisa bangkrut.

Lebih jauh lagi, pengusaha rumah makan yang tidak menaikkan harga di aplikasi dapat memenangkan persaingan dengan rumah makan lain yang punya menu serupa. 

Pembeli akan memilih yang harganya lebih murah. Untuk apa bayar lebih mahal kalau ada yang lebih murah dengan kualitas yang sama. 

Seharusnya penjualan di aplikasi ditargetkan untuk mendongkrak penjualan bukan malah membuat pelanggan enggan membeli online karena harga yang dianggap gila-gilaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun