Semestinya, sama seperti restoran, rumah makan juga tidak menaikkan harga karena omzet bisa dikejar untuk menutup biaya bagi hasil untuk Gojek dan Grab.
Sebagai informasi, rumah makan biasanya dikelola secara kekeluargaan dan tidak terikat pada standard operating procedure (SOP) apapun.Â
Sedangkan restoran dikelola secara profesional dari sisi manajemen, standar kualitas bahan makanan, dan dekorasi interior biasanya disesuaikan dengan menu yang disajikan, misal western food, Javanese cuisine, oriental cuisine, dan sebagainya.
Rumah makan punya dua pilihan dalam menghadapi ketatnya bisnis kuliner di aplikasi:
- Menaikkan harga tapi omzet stagnan.
- Tidak menaikkan harga tapi omzet bisa berlipat.
Dari dua cara diatas jika dikalkulasikan maka cara kedua punya peluang profit lebih besar karena rumah makan bisa memanfaatkan peluang dari musim hujan yang sedang berlangsung saat ini.
Orang biasanya malas keluar rumah, malas gerak, dan memilih untuk tetap rebahan saat hujan sedang turun. Harga menu di aplikasi yang sama dengan harga di tempat sangat mungkin membuat orang membeli lagi makanan di rumah makan itu, apalagi kalau cita rasanya lezat.
Makin banyak orang yang beli berarti omzet meningkat. Omzet yang meningkat berarti profit juga tambah besar dan pada akhirnya dapat menutup bagi hasil 20% yang diminta Gojek dan Grab, tanpa menaikkan harga.
Selain itu kepercayaan konsumen tetap terjaga karena rumah makan ternyata dapat mempertahankan reputasi soal harga.
Halah, rumah makan, kan, untuk ngasih makan orang yang lapar. Kalau lapar orang akan datang sendiri tidak memikirkan reputasi, yang penting kenyang.
Well, rumah makan kecil lama-lama bisa jadi restoran bintang Michelin, siapa tahu, kalau dikelola dengan benar. Kalau hanya asal-asalan hanya dalam hitungan bulanpun rumah makan itu bisa bangkrut.
Lebih jauh lagi, pengusaha rumah makan yang tidak menaikkan harga di aplikasi dapat memenangkan persaingan dengan rumah makan lain yang punya menu serupa.Â