Judul diatas saya ambil dari kesimpulan  saat sesi Zoom meeting Rabu pagi (14/10) bersama para penyunting dan karyawan penerbit buku yang berkantor di Yogya.
Sedari dulu minat baca di Indonesia memang rendah.
Pada Maret 2016, Central Connecticut State University mengungkap hasil riset bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, Padahal, masih menurut riset tersebut, infrastruktur Indonesia untuk mendukung minat baca berada di atas negara-negara Eropa.
Survei UNESCO pada 2019 pun mengungkap hal serupa, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara di dunia pada level literasi baca.
Tetapi, para pegiat literasi meyakini bahwa minat baca orang Indonesia cukup tinggi. Kurangnya akses, terutama di Indonesia timur, membuat kebiasaan membaca belum jadi budaya.
Kurangnya buku bacaan dan perpustakaan membuat anak-anak tidak punya kesempatan untuk membaca. Di sekolah-sekolah atau daerah yang punya perpustakaan, minat bacanya tinggi, terutama di pulau Jawa.
Selain akses dan ketersediaan buku, harga buku yang mahal juga jadi faktor orang malas baca buku. Buku hanya dibeli oleh orang yang sangat senang baca atau orang yang sangat menghargai karya tulis/sastra.
Sebagian orang yang senang baca tapi berkantong pas-pasan terpaksa membeli buku bajakan baik versi cetak maupun elektronik. Kalau tidak mau beli yang bajakan, para kantong pas-pasan ini biasanya saling tukar-pinjam dengan teman atau kerabat.
Kualitas buku bajakan sudah pasti jelek. Kertas tipis, huruf kecil-kecil dengan penjilidan yang tidak rapi dan mudah lepas. Meski ada "penerbit" yang menawarkan buku "KW Super", yang namanya bajakan tetaplah bajakan sebagus apapun kualitasnya, dan melanggar hukum.
Kenapa sih harga buku mahal banget?
Dalam sebuah buku yang dihitung bukan hanya biaya cetak dan royalti penulis, tapi ada pajak, biaya distribusi, pra-produksi (termasuk menggaji penyunting dan layouter), marketing-promosi, dan jika buku akan dipajang di toko buku maka ada biaya lain yang akan dibebankan ke harga jual sebuah buku.