Mereka meminta pemerintah memperbanyak kuota utama dan mengurangi kuota belajar karena setiap hari siswa menggunakan mesin pencari untuk melihat praktik bidang keahliannya (SMK). Beberapa sekolah juga membangun e-learning yang terintegrasi dengan YouTube.
Untuk hal tersebut Pak Hasan menjawab kalau kuota utama ditambah nanti siswa bakal tidak belajar dan malah main game online, TikTok, atau nonton drama Korea. Betul! Logis sekali, Pak!
Tapi sebenarnya mayoritas siswa SD-SMA memang tidak belajar. Mereka hanya belajar kalau ada PR dan diberi tugas oleh guru. Selepas tugas itu selesai, maka selesai pula belajarnya. Disuruh nonton Ruangguru atau Quipper lagi sudah pasti tidak mau, mending nonton YouTube.
Ditambah lagi sebagian besar siswa (juga orang tuanya) sudah dalam puncak kebosanan berada lama di rumah. Jadi apapun bentuk yang membuat mereka tambah bosan (termasuk belajar) tentu tidak akan mereka lakukan.Â
Minimnya minat belajar ini memang memprihatinkan, tapi itulah faktanya. Bagaimana kita mau menolak fakta yang ada di depan mata?
Di daerah-daerah yang bersinyal lemah, subsidi kuota ini juga sepertinya mubazir. Mereka lebih butuh (mungkin) subsidi listrik, subsidi transportasi untuk guru, atau insentif untuk radio dan televisi lokal yang menyiarkan PJJ. Untuk apa kuota besar kalau sinyalnya tak ada?
Mungkin, andai, bilamana kuota utama ditambah dengan memperkecil kuota belajar hal yang didapat bisa jadi tidak melulu negatif.Â
Siswa sekolah menengah mungkin saja jadi lebih kreatif karena mereka leluasa mencari tutorial untuk memperdalam hobi atau ikut forum-forum diskusi di internet yang berhubungan dengan minatnya.
Orang tua siswa TK dan SD mungkin juga bisa nebeng kuota utama itu untuk berjualan online sehingga bisa menghemat tidak perlu beli kuota lagi.
Para ibu yang suka drama Korea juga bisa nebeng download serial kesukaannya sehingga tidak gampang uring-uringan pada suami. Hemm~.
Meski demikian kita patut menghargai subsidi kuota yang diberikan pemerintah. Cukup atau tidak itu tergantung kita mengaturnya. Anggap saja kuota itu sebagai rejeki sehingga kita tidak mudah mengeluh dan menyalahkan siapa-siapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H