Sudah tahulah kisruh soal usia di Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di DKI kmrn. Di Jateng pada 2017 juga ramai karena banyak orang berduit pakai surat miskin supaya anaknya diterima di sekolah unggulan menggunakan jalur miskin yang kuotanya besar.
Kenapa sih yang diperebutkan sekolah negeri yang itu-itu saja, yang dianggap unggulan? Dan kenapa memangnya kalau tidak di sekolah unggulan?
Kualitas dan kredibilitas sekolah unggulan (negeri) tidak serta-merta dibangun dalam 1-2 tahun. Butuh waktu sangat lama bagi satu sekolah untuk jadi unggul karena harus menjadi Sekolah Standar Nasional (SSN) yang standarnya sudah jauh diatas Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Standar Nasional Pendidikan yang harus dipenuhi supaya satu sekolah menjadi SSN adalah standar kompetensi kelulusan, isi, proses, pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana & prasarana, pembiayaan pendidikan, dan penilaian pendidikan.
Maka satu sekolah SSN menjadi unggulan jika kemampuan akademis siswa dan nilai kelulusannya lebih tinggi dari Standar Nasional Pendidikan, juga punya ekstrakurikuler beragam, fasilitas sekolahnya lengkap, dan kompetensi guru-gurunya lebih tinggi dibanding sekolah SSN lain.
Sebagai contoh, di tempat asal saya di Jaksel, jika menyebut nama SMA 8, SMA 70, dan SMA 6 maka orang tahu itu sekolah unggulan karena banyak siswanya yang pintar dan alumninya kuliah di kampus negeri ternama di Indonesia.
Pun jika ingin kerja kantoran, banyak perusahaan yang melihat asal sekolah dan kampus tempat calon pelamar sebagai salah satu penentu diterima atau tidaknya di perusahaan tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 35 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa standar kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang harus dipenuhinya atau dicapainya dari suatu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Sementara itu, sistem zonasi yang memberi porsi 30% untuk siswa berprestasi kemungkinan besar akan mengubah wajah Sekolah Standar Nasional (SSN) karena porsi 30% ini bisa dikurangi untuk diberikan kepada jalur zona yang porsinya minimal 50%.Â
Menurut Permendikbud No.44/2019 Pasal 11, jika masih ada sisa kuota jalur zonasi, afirmasi, dan jalur perpindahan tugas orangtua/wali, maka pemerintah daerah dapat membuka jalur prestasi.Â
Maka jika kuota dari jalur zonasi, afirmasi (siswa miskin), dan perpindahan membludak, maka jalur prestasi kemungkinan akan diperkecil kurang dari 30% bahkan tidak ada. Ekstrem sekali sih kalau sampai tidak ada siswa berprestasi yang masuk ke satu sekolah, menurut saya.
Dan sudah pasti tidak akan ada lagi sekolah SSN unggulan karena anak-anak pandai tidak lagi tumplek di satu sekolah.
Salah satu syarat khusus agar sekolah menyandang status SSN adalah kegiatan ekstrakurikulernya mengalami peningkatan.Â
Honor pelatih atau guru ekstrakurikuler biasanya berasal dari iuran orang tua. Kalau dalam satu sekolah SSN tidak banyak orang tua yang mampu bayar iuran, maka ekstrakurikuler akan dikurangi bahkan ditiadakan.Â
Ekstrakurikuler yang hanya 1-2 bisa berimbas pada penurunan kualitas sekolah karena tidak bisa memenuhi Standar Nasional Pendidikan.
Pemerataan pendidikan dan kemudahan akses siswa bersekolah dimanapun yang jadi dasar sistem zonasi, akan makan waktu sangat lama untuk berhasil dan mungkin tidak efektif karena sarana dan prasarana tiap sekolah di tiap daerah tidak sama.
Tiap anak dan orang tua akan menginginkan sekolah yang sudah jadi unggulan karena fasilitas dan guru-gurunya lebih bagus daripada sekolah yang biasa-biasa saja.
Alih-alih "menyebar" anak-anak pandai dan guru-guru kompeten ke banyak sekolah, bisa jadi malah membuat anak-anak pandai tidak terwadahi bakat akademisnya untuk belajar di sekolah negeri yang sesuai.
Padahal meratakan kualitas pendidikan sangat mungkin dilakukan dengan cara mendongkrak sekolah yang mutunya rendah (kurang guru, kurang buku, bangunannya rusak) menjadi sekolah yang sesuai Standar Nasional Pendidikan.Â
Sehingga sekolah yang minus bisa jadi plus sekaligus tidak merusak sekolah SSN dan SSN unggulan yang kualitasnya sudah dibangun belasan bahkan puluhan tahun. Kesenjangan antara sekolah negeri di kota dengan di desa juga bisa berkurang, bahkan mungkin tiada lagi.
Yang utama harus diperhatikan adalah kompetensi guru. Para guru di desa-desa bisa saja disekolahkan ke perguruan tinggi, atau diberi pelatihan dan workshop, juga membuat link agar guru kota dan desa terhubung dengan membentuk grup diskusi.
Para guru honorer juga diangkat saja jadi ASN karena, menurut PGRI, sampai 2019 Indonesia masih kekurangan 1,1 juta guru. Tak apa, menurut saya, mengangkat mereka jadi ASN karena memang kita sedang krisis guru. Tentu mengangkatnya tidak saat sedang wabah seperti sekarang.
Soal zonasi ini memang sudah tidak urgent karena tahun ajaran baru 2020 juga sudah mulai. Mungkin nanti akan ada revisi atau inovasi dari Mas Menteri Nadiem. Semoga.
Sekarang yang urgent adalah memikirkan bagaimana agar siswa tetap terpenuhi haknya mendapat pengajaran dari sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H