Akhir-akhir ini jarang ada imbauan untuk "berbahasa Indonesia dengan baik dan benar". Itu realistis karena Indonesia, menurut situs Kemdikbud, punya 718 bahasa daerah yang separuhnya masih dituturkan secara aktif oleh masyarakat di tempat bahasa itu digunakan.Â
Wajar kalau dalam penuturannya, bahasa Indonesia sering bercampur dengan bahasa daerah bahkan bahasa asing.
Bahasa Indonesia juga dinamis, selalu mengikuti zaman. Sejak era Ejaan Van Ophuysen, Ejaan Suwandi, Ejaan Malindo, Ejaan Yang Disempurnakan, Â Ejaan Bahasa Indonesia, dan yang terkini PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) sudah banyak kata baku yang berubah ejaannya. Pun demikian dengan kata slang (pergaulan sehari-hari) yang masuk KBBI. Juga kata-kata dari bahasa asing yang diserap menjadi yang menjadi kosakata Indonesia.
Beberapa waktu lalu akun Twitter @narabahasa mencuitkan bahwa kata yang baku dan benar adalah "telanjur" bukan "terlanjur" karena awalan ter berubah menjadi tel hanya pada kata khusus, yaitu kata anjur.Â
Meskipun terbiasa dengan "terlanjur", mau tidak mau saya percaya dengan apa yang dicuitkan oleh Narabahasa karena pendirinya adalah Ivan Lanin, pakar bahasa Indonesia.
Ada lagi kata yang masih diucapkan secara kurang tepat yaitu sholat. Kata sholat sudah berubah menjadi salat karena kata serapan dari bahasa Arab itu sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia, jadi harus ditulis dan dibaca salat.Â
Tapi umat Islam masih mengucapkannya dengan sholat, karena mengucapkan salat terasa aneh karena seperti nama makanan.
Lalu ada kata pebalap. Kata baku menurut KBBI adalah pembalap, tapi banyak media arus utama yang menulis pebalap. Kata pebalap merupakan kata hasil kesepakatan para redaktur bahasa di media-media ternama.Â
Kalau tidak mengikuti KBBI, mungkinkah ini berarti setiap orang dan kelompok yang punya pengaruh luas di masyarakat bisa mengubah kata baku sesuai persepsinya sendiri?
Menilik hal diatas, hampir dapat dipastikan bahwa tidak banyak lagi orang yang menuturkan bahasa Indonesia formal secara baik dan benar, kecuali pada pidato-pidato resmi lembaga negara dan siaran berita.
Seorang editor, wartawan, redaktur, penulis, novelis, guru, atau seseorang yang senang menulis harus terus memperbaharui kosakata dan pengetahuannya tentang bahasa Indonesia, karena bahasa ini sangat dinamis.
Selain penggunaan kata baku, penulisan tanda hubung, tanda pisah, tanda kutip, singkatan, afiks, sufiks, dan sebagainya juga mesti diperhatikan, tidak seperti menulis di medsos, chat, atau buku harian.
Banyak kata serapan baru dari bahasa asing dan daerah. Lihat kata unduh dan unggah sebagai terjemahan dari kata download dan upload? Dua kata itu berasal dari bahasa Jawa.
Lihat lagi istilah face to face. Padanan kata untuk face to face adalah bersemuka, dari bahasa Melayu.
Meski bahasa Indonesia tidak termasuk dalam 10 bahasa dunia yang paling mudah dipelajari, tetapi menurut Dr Arief Budi Wurianto, Kepala Lembaga Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Universitas Muhammadiyah Malang, rata-rata mahasiswa asing bisa berbahasa Indonesia dalam waktu cukup singkat karena struktur bahasanya lebih simpel.
Bukan hanya kata-kata formal, ternyata bahasa pergaulan sehari-hari yang kata-katanya dibalik seperti takis (sikat), eug (gue), kane (enak), atau kuy (yuk) diakui sebagai bagian dari bahasa Indonesia dengan istilah metatesis.
Semua bahasa di dunia mengalami perubahan sesuai zaman. Bisa jadi 100 tahun mendatang bahasa Indonesia tidak lagi sama dengan yang kita biasa tulis dan ucapkan sekarang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI