Sebelum era media sosial dimulai, apapun yang berasal dari internet tidak boleh dipercaya karena siapapun bisa memasukkan apapun ke internet tanpa persyaratan. Pada masa itu wartawan bahkan tidak diperbolehkan mengambil berita dari internet. Alasannya karena sumber di internet tidak jelas identitasnya dan tidak kredibel karena tidak diketahui latar belakang keilmuannya.
Sebelum media sosial "menguasai dunia", orang yang bukan wartawan boleh saja memasukkan berita ke media mengenai masalah yang dia temukan di sekitarnya. Akan tetapi dia harus lebih dulu berhadapan dengan sederet persyaratan yang diberikan media tersebut (salah satunya 5W+1H) supaya informasinya enak dilihat/dibaca dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.Â
Inilah yang dinamakan citizen journalism.
Tapi dunia berubah. Citizen journalism kini sudah menjadi netizen journalism.
Apa yang viral di media sosial jadi buruan wartawan untuk dijadikan berita di media arus utama.
Tretan Muslim, seorang komika atau disebut juga pelawak tunggal, pernah mengalami bagaimana caption foto yang dia buat ternyata jadi berita di satu situs berita terkemuka.Â
Padahal dia hanya bercanda saja menulis keterangan foto berisi saran supaya Jokowi melarang Tiktok, aplikasi video yang membuatnya terganggu oleh suara-suara yang dihasilkan aplikasi tersebut.
Belum lagi video (yang diduga perundungan) terhadap seorang siswi SMK di Bolaang Mongondow yang membuat polisi turun tangan karena beritanya menyebar kemana-mana, termasuk Kompas TV.
Juga cerita tentang pengemudi ojek di kompas.com tentang ojek online yang menikahi penumpangnya juga berasal dari cerita viral.
Viral dapat diartikan menyebarnya berita, cerita, kisah, atau video secara cepat di media sosial lalu menjadi populer. Karena populer secepat kilat maka secepat kilat pula redupnya, tenggelam oleh berita, kisah, cerita, dan video terbaru yang disebarkan netizen yang lain.
Media arus utama tidak pernah kehabisan bahan berita karena hampir tiap hari ada saja yang viral dari media sosial.