Kesehatan yang dianggap kontroversial.
Baru-baru ini, kasus pemecatan Prof. Zainal Muttaqin oleh RS Kariadi menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Kasus ini bermula dari sebuah tulisan kritikan Prof. Zainal Muttaqin terhadap KementerianRS Kariadi mengonfirmasi bahwa salah satu alasan pemecatan Prof. Zainal Muttaqin adalah karena kritikannya kepada Kemenkes. Namun, belum ada klarifikasi resmi dari pihak rumah sakit maupun Kementerian Kesehatan mengenai masalah ini.
Prof. Zainal Muttaqin sendiri akhirnya memberikan kronologi lengkap mengenai pemecatannya dari RS Kariadi. Ia mengungkapkan bahwa ia telah mendapatkan surat pemecatan tanpa alasan yang jelas dari rumah sakit tersebut. Menurutnya, surat pemecatan tersebut merupakan bentuk represi terhadap kebebasan berpendapat dan bertindak sebagai upaya menghalangi suara kritis dalam masalah kesehatan.
Kronologi lengkap pemecatan Prof. Zainal Muttaqin oleh RS Kariadi masih menjadi perdebatan hangat di masyarakat, dan menjadi sorotan dalam konteks kebebasan berpendapat dan kritis di dalam sistem kesehatan.
Dilansir dari channel youtube Kang Hadi Conscience yang diunggah pada 21 April 2023, Pada tanggal 26 Maret 2023, Prof Zainal Muttaqin, seorang ahli bedah saraf yang mendunia, menerbitkan sebuah tulisan berjudul "Pentingnya Menjaga Etika Profesi Kedokteran". Namun, keesokan harinya ia dipanggil ke RS Karyadi dengan dugaan bahwa Dirut RSUP Karyadi diperintah oleh salah satu Dirjen Kemenkes yang mempermasalahkan tiga alinea tulisannya.
Pada tanggal 1 April 2023, Prof Zainal harus menghadapi sidang etik oleh manajemen RS Karyadi. Ia merasa heran karena yang dibahas pada sidang tersebut adalah mengenai tulisan kritikannya kepada Kementerian Kesehatan. Menurutnya, sidang etik kedokteran seharusnya terkait kegiatannya sebagai dokter dalam melayani pasien, bukan dalam hal menulis-nulis.
Pada awalnya sidang etik tersebut memutuskan untuk tidak memberikan sanksi pada Prof Zainal. Namun, manajemen RS Karyadi meminta agar Prof Zainal menyamarkan nama instansi yang dikritik pada tulisan berikutnya.
Prof Zainal merespons permintaan tersebut dengan tertawa dan mengibaratkan negeri ini seperti Korea Utara yang otoriter. Ia merasa lucu saja bahwa tulisan harus disensor dan dia menjawab ke manajemen, semua yang ditulisnya hanya dibatasi oleh undang-undang ITE.
Pada tanggal 4 April 2023, seorang pejabat Dirjen Kemenkes mengancam semua staf termasuk Dirut RS Karyadi agar mengeluarkan Zainal dari Rumah Sakit. Jika tidak, staf dan Dirut tersebut akan dipecat oleh pejabat tersebut yang ternyata ada dalam surat arahan Kemenkes.
Pada tanggal 5 April 2023, Dirut RSUP Karyadi mengadakan pertemuan pribadi dengan Prof Zainal. Dirut tersebut terpaksa harus memecat Prof Zainal sebagai dokter mitra di RSUP Kariadi dan memberinya surat pemberhentian terhitung mulai 6 April 2023.
Prof Zainal dipanggil direktur dan diberitahu bahwa ia tidak bisa menolak perintah dari Dirjen Kemenkes karena posisinya sebagai bawahan. Ia menerima surat pemberhentian sebagai mitra kerja tanpa konsideran apapun.
Prof Zainal membantah narasi salah satu kelompok Kemenkes bahwa ia diberhentikan karena sudah tua atau kontraknya habis. Ia masih bekerja secara penuh tanpa masalah dan masih mendidik dokter-dokter muda di Rumah Sakit tersebut. Sebenarnya kontraknya baru selesai sekitar pertengahan 2024, sehingga Zainal mengatakan narasi kelompok tersebut palsu.
Meskipun demikian, Prof Zainal tidak menyerah dan terus memperjuangkan haknya sebagai seorang dokter. Ia memilih untuk berjuang dengan cara yang benar dan tidak melanggar etika profesi kedokteran.
Berbagai Tanggapan
Seperti yang dilansir dari Media Indonesia, Menurut Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Mokhammad Najih, pemecatan dokter bedah saraf, Zainal Muttaqin, dari Rumah Sakit Kariadi, Semarang, yang disebabkan oleh kritiknya terhadap kebijakan kesehatan melalui tulisannya di portal media, tidak seharusnya dilakukan karena setiap warga negara memiliki hak demokrasi untuk mengkritik kebijakan pemerintah.Â
Najih menekankan bahwa kebebasan berpendapat dan mengemukakan pikiran adalah hak yang harus dihormati, terutama jika itu berkaitan dengan kepentingan hajat hidup orang banyak atau berkaitan dengan rancangan undang-undang (RUU).
Najih menyatakan bahwa jika pemecatan dilakukan hanya karena kritik terhadap RUU Kesehatan, itu tidak tepat dan perlu dicermati dengan lebih dalam. Zainal Muttaqin merupakan dokter bedah saraf dengan kekhususan yang langka di bidang keilmuan epilepsi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, jika hanya masalah kritisnya terhadap RUU, proses pemberhentiannya perlu dipertanyakan karena bisa ada potensi maladministrasi dalam proses tersebut.
Zainal Muttaqin sendiri menyatakan bahwa ia telah mengkritik kebijakan pemerintah bukan hanya pada RUU Kesehatan, tetapi juga terkait kebijakan pandemi, Permenkes tentang Radiologi Klinik, vaksinasi nusantara, dan terapi cuci otak yang digaungkan oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Ia menegaskan bahwa selaku klinisi, pendidik, dan ilmuwan, ia memiliki hak untuk memiliki sikap dan pendapat tentang kebenaran yang harus ditegakkan dan dinarasikan. Ia menambahkan bahwa tidak pernah ada persoalan terkait etik dan profesi yang dilanggar dalam kritik-kritiknya tersebut.
Dan dilansir dari Kompas.com, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi, menanggapi pemecatan Dr. Zainal Muttaqin baru-baru ini dari RSUP Kariadi di Semarang. Zainal diduga dipecat karena sering mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk RUU Kesehatan. Adib menegaskan tulisan-tulisan Zainal tidak sepenuhnya kritis, tetapi juga memberikan pemahaman kepada masyarakat. Ia menegaskan, tulisan Zainal di laman pribadinya di Kumparan.com menjelaskan banyak miskonsepsi publik tentang organisasi profesi dan situasi kesehatan di Indonesia.
Adib juga menegaskan bahwa sesuai dengan UUD 1945 yang melindungi hak kebebasan berekspresi dan pemikiran akademis dan intelektual warga negara, tulisan-tulisan Zainal seharusnya tidak ditanggapi dengan cara yang disesalkan. Adib menambahkan, Zainal merupakan spesialis langka di bidang epilepsi dan dokter bedah saraf yang aktif memproduksi beberapa spesialis bedah saraf di Indonesia. Oleh karena itu, PB IDI melalui Bidang Pembelaan Hukum dan Pembinaan Keanggotaan (BHP2A) dan IDI Jateng akan memberikan bantuan hukum dan memperjuangkan hak Zainal sebagai anggota IDI dan warga negara Indonesia.
Sementara itu, Ketua IDI Jateng Dr Djoko Handojo juga menyayangkan pemecatan Zainal. Dia menyarankan agar kritik itu bisa diselesaikan melalui diskusi keluarga sebelum tindakan keras diambil. Diakui Djoko, Zainal bukan hanya seorang kolega tetapi juga seorang profesor dan ahli bedah saraf yang berkorban banyak untuk membantu pasien yang membutuhkan operasi bedah saraf selama pandemi Covid-19.
Lebih lanjut, Dr Ari Fahrial Syam, Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan bahwa dokter adalah bagian dari masyarakat dan berhak untuk menyampaikan keprihatinannya. . Dia mengkritik tindakan represif yang diambil oleh pejabat Kementerian Kesehatan dalam membungkam Zainal, yang menurutnya merusak proses demokrasi yang diperjuangkan oleh pemerintah. Ari berharap tindakan represif seperti itu tidak berlanjut, karena hanya akan memperumit masalah dan merugikan pasien, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Opini
Pemecatan Prof. Zainal Muttaqin dari RS Kariadi setelah ia mengkritik RUU Kesehatan dan Kementerian Kesehatan Indonesia memicu perdebatan tentang kebebasan berpendapat dan kritis di dalam sistem kesehatan. Menurut Prof. Zainal, surat pemecatan tanpa alasan jelas dari rumah sakit tersebut merupakan bentuk represi terhadap kebebasan berpendapat. Sebagai seorang dokter, ia berhak memberikan kritik terhadap sistem kesehatan, namun, dirinya dipanggil ke RS Kariadi dengan dugaan bahwa Dirut RSUP Karyadi diperintah oleh salah satu Dirjen Kemenkes yang mempermasalahkan tiga alinea tulisannya.
Pada sidang etik yang diajukan oleh manajemen RS Karyadi, Prof. Zainal merasa heran karena yang dibahas pada sidang tersebut adalah mengenai tulisan kritikannya kepada Kementerian Kesehatan. Menurutnya, sidang etik kedokteran seharusnya terkait kegiatannya sebagai dokter dalam melayani pasien, bukan dalam hal menulis. Namun, manajemen RS Karyadi meminta agar Prof. Zainal menyamarkan nama instansi yang dikritik pada tulisan berikutnya.
Pada akhirnya, Prof. Zainal terpaksa diberhentikan dari RS Kariadi sebagai dokter mitra. Meskipun demikian, ia tidak menyerah dan terus memperjuangkan haknya sebagai seorang dokter. Pemecatan ini memicu berbagai tanggapan dari masyarakat, termasuk Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Mokhammad Najih, yang menyebut bahwa pemecatan ini menunjukkan ketidakberdayaan sistem dalam mengakomodasi kritik dan saran dari masyarakat.
Dari sudut pandang hukum, pemecatan Prof. Zainal Muttaqin oleh RS Kariadi menjadi perdebatan yang menarik perhatian. Sebagai dokter mitra, Prof. Zainal memiliki hak dan kewajiban tertentu yang diatur oleh undang-undang. Salah satunya adalah hak untuk menyampaikan pandangan dan kritik terhadap sistem kesehatan tanpa harus takut kehilangan pekerjaan. Di Indonesia, kebebasan berpendapat diatur oleh beberapa undang-undang, antara lain:
UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya, dan untuk menyatakan pendapat dan memberikan informasi dengan lisan, tulisan, gambar atau cara lainnya."
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat di depan umum melalui media elektronik."
Dalam hal ini, keputusan RS Kariadi untuk memecat Prof. Zainal terkesan tidak adil dan melanggar hak kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang. Selain itu, ketidaksamaan pandangan antara RS Kariadi dan Prof. Zainal tidak dapat dijadikan alasan untuk memberikan sanksi pemecatan tanpa alasan yang jelas.
Meskipun ada peraturan di RS Kariadi yang mengharuskan dokter mitra untuk tidak memberikan kritik publik terhadap lembaga yang bekerja sama dengan rumah sakit, namun hal ini seharusnya tidak dapat membatasi hak kebebasan berpendapat dan berbicara di luar lingkup rumah sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H