(Ini adalah seri kedua dari cerita perjalanan studi Doktoral saya di Inggris. Untuk tulisan sebelumnya bisa dilihat di sini)
Situasi terancam akan gagal itu, makin diperumit dengan ketidakmampuan saya untuk mengerti  British English.
Selama ini, saya belajar bahasa Inggris dengan mengandalkan buku dan YouTube. Saya membaca buku bahasa inggris dan menonton kuliah virtual yang tersedia gratis di media sosial tersebut.
Memang saya mengekspos diri saya dengan American English. Karena pergaulan saya selama ini dengan teman-teman yang kuliah di Amerika.Â
Selain itu, memang rasanya American English yang dominan di Indonesia. Mulai dari film, lagu sampai bahasa dunia akademik, orang cenderung ke English versi itu.
Momen ketika saya masuk ke ruang virtual untuk mengikuti "Induction meeting", bahasa gaulnya "Ospek" untuk mahasiswa baru sungguh berkesan.Â
Saya terpaku diam tidak bisa merespon apa-apa ketika saya mendengar dosen-dosen bicara dalam British English a la Inggris Utara, yang sangat asing di telinga (ternyata English ada banyak macam gaess).
Selama pertemuan itu, hampir semua pembicaraan yang ada, tidak bisa saya mengerti. Itu momen yang sangat melelahkan secara mental.Â
Pertemuan jam 10 malam sampai 1 malam (karena perbedaan waktu Inggris-Indo) ditambah dengan situasi asing yang benar-benar asing sungguh menguras energi.