Saya tidak akan mempersalahkan praktek itu, kalau memang itu terjadi. Tapi saya kira buku ber-ISBN bisa lebih bermanfaat daripada sekedar untuk poin KUM (istilah untuk menyebut nilai syarat untuk kenaikan pangkat dosen).
Dari kondisi ini mungkin saya bisa mengusulkan satu solusi untuk Krisis ISBN, yaitu membentuk Tim Penjaminan Mutu untuk penerbitan ISBN.Â
Saya setuju dengan salah satu langkah pemerintah untuk membatasi penerbitan ISBN kedepannya. Ya, mau bagaimana lagi wong itu jatahnya udah mau habis.
Tapi pembatasan itu harus berdasarkan kriteria yang jelas. Saya kira itu fungsi dari Tim Penjaminan Mutu. Untuk bisa menerbitkan ISBN, pemerintah perlu menjamin agar tidak terjadi lagi pemborosan seperti yang mungkin saja dilakukan oleh para dosen, seperti yang saya sebutkan di atas.
Kita tetap butuh dosen menerbitkan buku sebagai bentuk produksi ilmu pengetahuan dan kontribusi kepada masyarakat luas. Tapi seyogyanya penerbitan buku untuk sekedar urusan administrasi perlu diawasi.
Maka buku yang layak untuk mendapat ISBN dalam konteks dunia akademis menurut saya adalah buku yang memiliki nilai originalitas keilmuan agar lahir terus pengetahuan baru bagi masyarakat  dan perlu dicetak dalam jumlah yang banyak agar diseminasi ilmu pengetahuan ke ranah publik bisa berjalan terus.
Semua diserahkan kepada pemerintah mau bagaimana kedepannya. Tapi hubungan antara dosen dan ISBN sejauh ini tidak bisa dilepaskan.Â
Dan untuk bisa menyelesaikan krisis ISBN, pemerintah perlu melihat bagaimana kebijakan terkait krisis ini akan berdampak bagi dosen. Dan mungkin lebih dalam daripada itu mungkin kelakukan para dosen juga menjadi salah satu penyebab terciptanya krisis ISBN ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H