Aku bahagia sepanjang hari
karena pendidikan telah menghadirkan
cahaya dan musik dalam jiwaku.
Sungguh seram membayangkan seseorang yang tak bisa melihat (tunanetra), tak bisa bicara (tunawicara), tak bisa mendengar (tunarungu). Tiap yang masih memiliki kemampuan inderawi itu, pasti akan sangat sulit membayangkan bagaimana menjalani waktu demi waktu.
Dunia begitu gelap sekaligus hening. Orang lain tak bisa memahami apa yang disampaikan. Kalau mungkin semenjak lahir sudah begitu, maka akan lain ceritanya.
Namun ini yang terjadi pada diri Helen Keller adalah dia diserang penyakit penyempitan otak akut pada usia yang masih sangat muda.
Helen Keller adalah penulis terkenal dari Amerika Serikat. Kedua belas buku yang ditulisnya itu sangat populer bahkan beberapa di antaranya menjadi literatur penting di Amerika Serikat.Â
Walaupun sejak umur 18 bulan ia mengalami kondisi disabilitas yang bertubi-tubi itu, dalam waktu beranjak dewasa Helen bisa menguasai Bahasa Perancis, Jerman, Yunani dan Latin.
Dia menjadi tuna rungu dan tuna netra pertama yang lulus Universitas Harvard. Sepanjang hidupnya, Helen banyak bekerja untuk  kemanusiaan dan bersuara untuk kepentingan banyak orang.
Tidak bisa dibayangkan, orang yang mengalami kondisi seperti itu bisa mencapai prestasi hidup yang sedemikian fenomenal.
Dalam buku autobigrafinya yang sudah diterbitkan ke lebih dari 50 bahasa, Â The Story of My Life, Helen menyadari bahwa orang yang membawa cahaya bagi hidupnya adalah guru yang setia mendampinginya, Anne Sullivan.
Pada mulanya, Helen mengalami gejolak diri yang hebat, karena ia tidak mampu melihat dunia, lalu tidak mampu berkomunikasi dengan siapapun.
Ia bisa merasakan orang-orang yang hadir di sekitarnya tapi mereka semua tak bisa dipahami.
Sampai akhirnya Anne Sullivan yang membawa terang bagi hidupnya yaitu pendidikan.
Nona Sullivan, begitu sapa Helen, yang mengajarinya untuk mengenal huruf-huruf Braille, seperangkat alat baca untuk orang tuna netra.
Melalui sastra-sastra dunia  yang dibaca olehnya, Helen mampu berkelana ke dunia luas. Tandasnya, "Pengetahuan adalah cinta, cahaya dan juga wawasan." Walaupun begitu, ia bukannya tidak mengalami kesulitan dalam hidup.
Misalnya, bagaimana ia hidup dan belajar khususnya di perguruan Tinggi yang tidak ramah dengan difabilitas. Namun Helen sendiri tidak menyalahkan sistem dan orang-orang di dalamnya, karena memang di masa hidupnya, semua orang terbiasa hidup dengan orang yang berkemampuan sama.
Ia merasa sudah cukup puas karena ia bisa melampauinya.
Ia sendiri menyadari bahwa tak guna mengutuk kehidupan yang tidak bisa dikendalikan olehnya. Karena kesabaran dari Anne Sullivan, ia bisa diajari cara berkomunikasi dengan orang hingga begitu banyak hal bisa dicapai olehnya.
Helen mampu menjalani hidup yang sulit karena ia menyadari bahwa hidup yang penuh derita, dibarengi juga dengan kemampuan untuk melampauinya.Â
Helen adalah bukti bahwa hidup bisa terus dijalani, asalkan orang tidak terjebak pada sesuatu yang tidak bisa dilakukannya.
Helen adalah bukti bahwa orang bisa berhasil asalkan menikmati manisnya ilmu pengetahuan, tanpa perlu takut kelihatan bodoh dan lemah.Â
Ia menerima kekurangannya dan berdamai dengan dunia yang awalnya kelihatan seram itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H