Perjodohan paksa, sebuah praktik primitif yang masih membelenggu sebagian masyarakat kelas bawah, merupakan fenomena kompleks yang sarat dengan konsekuensi negatif. Praktik ini sering dikaitkan dengan minimnya akses pendidikan yang layak, berakibat pada kurangnya pengetahuan tentang HAM (hak asasi manusia), khususnya hak-hak wanita.
Selain karena rendahnya pendidikan, perjodohan paksa termasuk simbol dari rendahnya status sosial dan kekayaan seseorang. Anak wanitanya diposisikan sebagai komoditas untuk "diperjualbelikan" demi keuntungan keluarga. Baik untuk menaikkan status sosial dengan mendapatkan menantu kaya dan terhormat, atau karena sungkan menolak lamaran akibat rendahnya harga diri orang tuanya dibanding orang yang melamar maupun yang menawarkan.
Lantas bagaimana Islam dan UU Indonesia memandang fenomena masyarakat kelas terbelakang ini?
PANDANGAN ISLAM TERHADAP PRAKTIK PERJODOHAN PAKSA
Rasulullaah bersabda:
اَتُنكَحُ اْلأيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
"Wanita yang sudah pernah menikah (janda) tidak boleh dinikahkan sehingga diminta perintahnya*, dan wanita perawan tidak boleh dinikahkan sehingga diminta ijin(nya)**." (lihat: HR. Imam Muhammad bin Ismail 5133, 5134 dan Muslim 1422)
*wanita janda tak boleh dinikahkan kecuali ia sendiri yang meminta.
**wanita perawan tak boleh dinikahkan kecuali ia mengizinkan/ridho, bukan karena dipaksa.
Dalam riwayat lain
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا
"Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya." (HR. Muslim no. 1421)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, imam hadits terkemuka dari madzhab Syafi'i memberikan catatan:
إن الترجمة معقودة لاشتراط رضا المزوجة بكرا كانت أو ثيبا صغيرة كانت أو كبيرة ، وهو الذي يقتضيه ظاهر الحديث
“Judul bab ini menjelaskan, bahwa disyaratkannya ridho dari mempelai wanita (dalam pernikahan), baik yang masih gadis ataupun janda; janda muda ataupun tua. Inilah yang sesuai dengan dzohir hadis.” (Fathul Bari)
Artinya, dalam Islam, ridhonya wanita apabila sudah baligh untuk dinikahkan adalah syarat pernikahan.
Pernikahan baru sah jika kedua mempelai saling ridho untuk menikah, tidak dengan dipaksa. Termasuk juga apabila orang tua memaksa anak perempuannya atas nama "taat pada orang tua".
LALU BAGAIMANA JIKA ORANG TUA NEKAT MENJODOHKANNYA?
Jika orang tua nekat menjodohkan anak wanitanya, baik janda maupun perawan, tanpa keridhoan/kerelaan anak wanitanya tersebut, maka pernikahannya batal / tidak sah.
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata:
وُفِّيَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ وَتَرَكَ ابْنَةً لَهُ مِنْ خُوَيْلَةَ بِنْتِ حَكِيمِ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ حَارِثَةَ بْنِ الْأَوْقَصِ قَالَ وَأَوْصَى إِلَى أَخِيهِ قُدَامَةَ بْنِ مَظْعُونٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَهُمَا خَالَايَ قَالَ فَمَضَيْتُ إِلَى قُدَامَةَ بْنِ مَظْعُونٍ أَخْطُبُ ابْنَةَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ فَزَوَّجَنِيهَا وَدَخَلَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ يَعْنِي إِلَى أُمِّهَا فَأَرْغَبَهَا فِي الْمَالِ فَحَطَّتْ إِلَيْهِ وَحَطَّتْ الْجَارِيَةُ إِلَى هَوَى أُمِّهَا فَأَبَيَا حَتَّى ارْتَفَعَ أَمْرُهُمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُدَامَةُ بْنُ مَظْعُونٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنَةُ أَخِي أَوْصَى بِهَا إِلَيَّ فَزَوَّجْتُهَا ابْنَ عَمَّتِهَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَلَمْ أُقَصِّرْ بِهَا فِي الصَّلَاحِ وَلَا فِي الْكَفَاءَةِ وَلَكِنَّهَا امْرَأَةٌ وَإِنَّمَا حَطَّتْ إِلَى هَوَى أُمِّهَا قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ يَتِيمَةٌ وَلَا تُنْكَحُ إِلَّا بِإِذْنِهَا قَالَ فَانْتُزِعَتْ وَاللَّهِ مِنِّي بَعْدَ أَنْ مَلَكْتُهَا فَزَوَّجُوهَا الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ
"Utsman bin Madh'un wafat meninggalkan seorang anak perempuan hasil pernikahannya dengan Khuwailah binti Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin Al-Auqash".
Ibnu Umar berkata: "Dan dia berwasiat kepada saudara lelakinya yang bernama Qudamah bin Madh'un. Keduanya adalah paman dari jalur ibuku. Lalu aku mendatangi Qudamah bin Madh'un untuk melamar anak perempuan Utsman bin Madh'un, lalu ia pun menikahkanku dengannya. Tiba-tiba Al-Mughirah bin Syu'bah menemui ibunya, merayunya, dan membuatnya tertarik kepada hartanya sehingga akhirnya ia lebih condong kepadanya. Dan anak perempuannya itu juga lebih condong kepada keinginan ibunya. Keduanya (Ibnu Umar dan Qudamah bin Madh'un) tidak menyetujuinya hingga permasalahan ini sampai kepada Rasulullah .
Qudamah bin Madh'un pun berkata: "Wahai Rasulullah, anak perempuan dari saudara laki-lakiku telah diwasiatkan kepadaku, hingga aku pun menikahkannya dengan anak lelaki dari bibinya (dari jalur ayah) yakni, Abdullah bin Umar. Aku tidak meragukan kebaikan dan kemampuan keponakan perempuanku itu. Akan tetapi, dia adalah seorang wanita yang ternyata lebih condong kepada kemauan ibunya".
Lalu Rasulullah bersabda: "Dia adalah anak yatim, dan dia tidak boleh dinikahkan kecuali diminta ijinnya/persetujuannya".
Ibnu Umar berkata : "Demi Allah, ia pun akhirnya direbut dariku setelah aku menikahinya, lalu mereka menikahkannya dengan Al-Mughirah bin Syu'bah" (Diriwayatkan oleh Ahmad 2/130)
Disebutkan pula dalam riwayat dari Khansa' binti Khidzam Al-Anshariyah:
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
"Bahwa ayahnya menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukai. Maka dia datang menemui Nabi (untuk mengadu) maka Nabi membatalkan pernikahannya." (HR. Muhammad bin Ismail no. 5138)
Di kesempatan yang lain,
Ibnu Abbas menceritakan seorang gadis yang pernah menemui Rasulullah mengadukan ayahnya yang telah menikahkan gadis tersebut tanpa keridhoan hatinya. Lantas Rasulullah menyerahkan pilihan kepada Sang Gadis; apakah ia ingin meneruskan ataukah membatalkan pernikahannya. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2096 dan Ibnu Majah no. 1875)
Pada sebuah fatwa disebutkan..
Dalam Islam, orang tua tidak boleh menikahkan putri-putrinya kecuali dengan izin dari mereka. Inilah yang menjadi kewajiban semua pihak; barangsiapa yang menikahkan putrinya tanpa seizin dari dia, maka nikahnya tidak sah, sebab diantara syarat nikah adalah kesukaan (keridhaan) dari keduanya (mempelai). (baca: Fatawa Mar'ah, hal 55-56)
Bagi pria yang melamar, jika mengetahui perempuan yang anda inginkan tidak memberi lampu hijau (tidak ridho / tidak menyetujui), sangat disarankan untuk tidak melanjutkan upaya anda, meskipun ayah perempuan tersebut bersikap toleran terhadap anda. Hal ini dikarenakan keabsahan pernikahan melibatkan persetujuan kedua belah pihak dan berkaitan langsung dengan legalitas serta kesahihan status pernikahan.
Singkat kata..
Ternyata Islam menentang tradisi perjodohan paksa anak wanita, baik yang perawan maupun janda, dan hal ini berbanding terbalik dengan persepsi orang awam yang mengira Islam mendukung perjodohan paksa.
PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA
Dalam hukum, diatur bahwa perkawinan harus berdasarkan kesepakatan kedua calon pasangan seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Penjelasan dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang akan menikah tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan langgeng, serta sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
Hukum juga menegaskan bahwa perkawinan yang dilakukan karena paksaan tidak sah dan dapat dibatalkan. Selain itu, menurut ketentuan hukum Islam, perkawinan yang terjadi karena tekanan atau paksaan juga dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 72 ayat (1) KHI, yang dapat diajukan baik oleh suami maupun istri.
DAMPAK PSIKOLOGIS
Perjodohan paksa membawa dampak yang destruktif bagi individu dan masyarakat.
- Pertama, pelanggaran hak asasi manusia. Perempuan dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak mereka cintai, merenggut hak fundamental mereka untuk memilih pasangan hidup dan menentukan masa depan mereka sendiri.
- Kedua, konsekuensi psikologis. Pernikahan tanpa cinta berpotensi melahirkan berbagai masalah psikologis, seperti depresi dan trauma. Ketidakcocokan dengan pasangan dapat memicu konflik dan kekerasan dalam rumah tangga.
Dan tak ada alasan bagi orang tua menjodohkan paksa anak perempuannya yang sudah baligh. Karena pada akhirnya yang harus menghadapi kewajiban-kewajiban rumah tangga adalah anak perempuannya, bukan orang tuanya.
MELAWAN TRADISI KOLOT
Melawan praktik perjodohan paksa membutuhkan upaya multidimensi.
- Pertama, peningkatan akses pendidikan. Memberikan pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat kelas bawah, terutama perempuan, akan membuka wawasan dan memperkuat pemahaman tentang hak asasi manusia.
- Kedua, pemberdayaan perempuan. Memberikan perempuan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak akan meningkatkan kemandirian dan memperkuat posisi mereka dalam masyarakat.
PENUTUP
Perjodohan paksa adalah praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan hak asasi manusia. Melawan tradisi ini membutuhkan komitmen dan upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk ulama, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat luas. Hanya dengan bergandengan tangan, kita dapat menghapus belenggu tradisi yang melukai dan membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H