Dari pikiran Sen, Stiglitz, dan Rodrik, kita dapat mengambil benang merah, bahwa pembangunan tak sekedar mencapai angka-angka statistik dalam pertumbuhan ekonomi. Di dalamnya harus ada keadilan untuk mencapai kesejahteraan, distribusi pendapatan dan akseptabel terhadap sosio kultural masyarakat lokal. Dengannya maka pembangunan yang baik, mensyaratkan "inklusivitas ekonomi" sebagai moral paling tinggi dalam pembangunan.
Apa yang terjadi pada masyarakat di Pulau Komodo-Labuan Bajo (2022), dimana upaya penggusuran masyarakat lokal dengan dalil pengembangan kawasan wisata premium, adalah noktah pembangunan yang bias keadilan. Justru mendistorsi hakikat pembangunan itu sendiri
Kecemasan yang sama sedang dialami masyarakat nelayan Baranusa, bila eksistensi mereka, tak ditempatkan sebagai bagian elementer pembangunan kawasan pulau Lapang. Dus investasi dan subordinasi eksistensi masyarakat lokal dengan cara-cara represi sudah menjadi pakem di Indonesia.
Oleh sebab itu, masyarakat adat Baranusa, harus menjadi elemen penting dalam rencana pengelolaan pulau Lapang per se.
Tugas pemerintah daerah adalah melakukan komunikasi yang baik dan terbuka dengan masyarakat. Semuanya tercatat dalam MoU (Memorandum of Understanding) yang jelas. Sehingga ketika pemerintah ingin mencapai tujuan pembangunan, tak mencederai rasa keadilan, sehingga pembangunan, mencapai tujuannya dengan cara-cara yang inklusif. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H