Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perpu Omnibus Law; Jokowi dan Abu Nawas

7 Januari 2023   08:29 Diperbarui: 7 Januari 2023   08:35 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apalagi tahun 2023, BI tak lagi melakukan burden sharing atau kebijakan kuantitatif ala RI dengan membeli SBN. Artinya, pemerintah dituntut menavigasi ekonomi menuju normalisasi fiskal di tahun 2023.

Dus, dalam UU Omnibus Law sektor keuangan/P2SK, kebijakan BS dilakukan tanpa batas. Artinya, bank sentral tetap dibebankan membantu pembiayaan APBN.

Bila kita flashback ke tahun 2021-2022, tanpa burden sharing, fiskal kita bisa kelimpungan. Disaat yang sama, kebijakan counter cyclical harus dilakukan.

counter cyclical berarti, saat konjungtur ekonomi berada di titik palung/resesi, maka belanja ditingkatkan dan insentif diberikan. Dalam pendekatan spending effect ala Keynes itulah, defisit ditoleransi tapi dengan dukungan BI, agar tak melebar jauh. Agar ekspansi fiskal mendapat sokongan.

Dalam UU P2SK pula, terdapat bejibun kebijakan, dalam rangka pendalaman sektor keuangan. Tentu saja ini penting, karena rasio komponen sektor keuangan kita terhadap PDB, masih amat rendah, bila dibandingkan dengan negara-negara peer.

Bagaimana caranya suatu ekonomi itu tumbuh dan naik kelas menjadi negara maju dari negara berkembang, tanpa pendalaman sektor keuangan? Toh suplai uang terjadi, karena terjadinya pendalaman sektor keuangan dan inklusinya.

Lalu, kalau kita baca data dari berbagai lembaga riset ekonomi seperti Statista dll, terlihat, global uncertainty di tahun 2023 itu masih di atas 100 point. Kategori uncertainty masih tinggi.

Memang begitu adanya. Inflasi AS dan negara-negara maju masih jauh dari rata-rata sasaran 2%. Artinya, policy rate melalui bank sentral masih agresif---meski perlahan-lahan tampak less-hawkish.

Bank sentral AS (the federal reserve) misalnya, pada pertemuan FOMC 14 Des 2022, mengatakan kemungkinan Fed rate memuncak di 5,1%; sekitar kuartal awal 2023. Tapi apakah perkiraan ini linier dengan sasaran inflasi AS 2%?

Belum tentu juga. Baru-baru ini, Putin kembali memberi ultimatum, bahwa ia akan melakukan serangan lebih sadis lagi ke Ukraina. Artinya, eskalasi di Eropa Timur, bisa lebih tinggi dari 2022. Penyulut ketidakpastian global kian menjadi-jadi.

Lebih lanjut, oleh berbagai lembaga multilateral, telah mengoreksi kinerja PDB global. IMF misalnya, mengoreksi kinerja ekonomi 2023 dari 3% menjadi 2,7%. Tentu ada efek rambatnya ke negara berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun