Jika pesan kesetaraan tersebut, menyulut api keimanan dan kesadaran kesetaraan sosial, hingga menyala-nyala pasca ber-haji, maka berbagai diskriminasi sosial, politik dan ekonomi, menjadi perlahan-lahan ternegasi dalam struktur soal masyarakat Indonesia, sebagai negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di muka bumi.
Kehidupan sosial ekonomi Indonesia pasca Pandemic Covid-19, masih memprihatinkan. Kendati kinerja ekonomi (PDB), berada di teritori pra-pandemi, kehidupan sosial ekonomi masih memprihatinkan. Khususnya rakyat kecil, yang ditimpa inflasi harga pangan bergejolak.
BPS mencatat, inflasi harga pangan bergejolak >10% (year on year). Siapa korbannya? Mereka pekerja serabutan seperti buruh tani dll yang fixed income-nya kecil. Bila inflasi jenis ini terkerek 1% saja, orang-orang kecil ini ditimpa kemiskinan absolut. Hasil pendapatannya di bawah garis kemiskinan/tak cukup memenuhi kebutuhan hidup minimum.
Orang miskin absolut, adalah mereka yang hanya bisa makan sekali. Hidupnya di bawah standar daya beli (
Buruh tani dengan upah harian Rp.10 ribu/hari, diterpa inflasi harga pangan, maka bayangkan, apakah sanggup mengeluarkan uang sebesar Rp.27.265/hari ((paritas daya beli/PPP sesuai kurs rupiah dalam APBN 2022).
Namun kondisi tersebut tak jadi soal bagi mereka yang punya. Dikala rakyat kecil menjerit dijerat inflasi, orang-orang kaya mengamankan asetnya di berbagai instrumen defense (di sektor keuangan). Orang-orang kecil boleh buntung, orang kaya mendulang cuan.
Wealth Report 2022 merilis, jumlah orang dengan kekayaan bersih ultra-tinggi (ultra high net worth individuals/UNWHI) di Indonesia mencapai 1.403 orang pada 2021. Jumlah ini meningkat 1% dari 1.390 pada 2020.
UHNWI adalah orang-orang yang memiliki kekayaan minimal US$ 30 juta. Pada 2021, total ada 610.569 individu ultra kaya berdasarkan data Knight Frank. Sementara lanjut dia, 10,% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% kekayaan nasional.
Semakin tertekannya kelompok akar rumput (grassroots level) akibat inflasi dan bertambahnya orang super kaya baru, merefleksikan bahwa ketimpangan sedang terjadi. Selama ini, BPS hanya mengukur ketimpangan berdasarkan pengeluaran/konsumsi, bukan pendapatan atau kekayaan. Sementara, pengeluaran/konsumsi yang dilakukan masyarakat, tak seutuhnya menggambarkan pendapatan murni.
Tak sedikit orang-orang kecil, yang menopang pengeluaran hariannya dengan meminjam di rentenir/bank emok/bank keliling dengan bunga harian mencekik.
Sementara itu, Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors)," Berdasarkan Indeks Crony Capitalism, Indonesia berada dalam urutan ke-7 terburuk di dunia