Pada tahun 622-632 Masehi, kepemimpinan prophetic Rasulullah Muhammad SAW di Madinah, memberikan ruang sosial, ekonomi dan politik pada kaum Yahudi, Nasrani dan Islam. Dan 3 kelompok agama ini hidup dalam porsi eko-sosial yang sama; tanpa dikotomi keimanan.
Piagam Madinah, adalah bentuk inklusi sosial dalam kepemimpinan prophetic Rasulullah SAW. Sebagai kesadaran kolektif berbasis keimanan (tauhid) dalam struktur masyarakat Madinah yang plural. Meratakan sekat-sekat theology dalam perlakuan sosial yang equally.
Baitul mal sebagai APBN-nya Madinah kala itu di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW dan khalifah, terdistribusi merata. Sama rasa; tanpa melihat dikotomi identitas keimanan sebagaimana dalam buku The Great of Two Umars yang ditulis Fuad Abdurrahman.
Karakteristik kepemimpinan prophetic Rasulullah SAW tsb, menjadi legacy pada kepemimpinan para khalifah, dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dst. Mereka memberi kebebasan bagi 3 kelompok agama tersebut hidup dalam porsi hak dan kewajiban yang sama selama masa kekhalifahan.
Misalnya, pada masa penaklukan Yerusalem oleh Umar Bin Khattab pada tahun 638 Masehi, kaum Yahudi dan Nasrani dibiarkan bebas memperoleh hak sipillnya bagaimana umat Islam. Hidup dalam kerukunan.
Pada tahun 1187, ketika Salahuddin Al Ayyubi merebut Yerusalem, 3 kelompok agama ini kembali diberikan ruang yang sama secara citizenship. Termasuk kebebasan menjalankan agamanya.
Kepemimpinan prophetic Rasulullah SAW adalah legacy. Sebagai suatu bentuk kepemimpinan modern yang mengusung semangat egalitarian dalam corak pemikiran masyarakat Arab yang masih tradisional dan primordial.
Bahkan dalam hematnya, kepemimpinan prophetic Rasulullah SAW di Madinah itu, melampaui keprimitifan sosial masyarakat Arab kala itu. Jauh lebih modern dan egaliter. Belum accepted dengan fragmen-fragmen sosial Arab yang amat keras kala itu.
Nah, hari ini, kita letakkan Yerusalem dalam corak kepemimpinan modern dalam teori demokrasi dan HAM yang sophisticated. Apa yang kita saksikan?
Israel sebagai pintu masuk demokrasi Barat di Timur Tengah, memperlihatkan wajah demokrasi yang "anarchism." Memperlihatkan wajah demokrasi yang genocide. Mempertontonkan praktek criminal state.
Di Bulan suci Ramadhan, militer Israel menyerang umat Islam Palestina yang tengah beribadah. Melepaskan tembakan dan gas air mata. Menghantam umat Islam yang tengah shalat. Memantik kemarahan umat Islam dan milisi Hamas.
Meskipun negara yang dibangun zionis Israel kental dengan corak dan impresi theology, namun pada prakteknya, tangan Tuhan menjadi berdarah dan anarchist sebagaimana terorisme yang acap kali dialamatkan secara serampangan pada Islam dan Timur Tengah.
Dengan menguasai infrastruktur militer, global funding network dengan sumber dana tak terbatas (jaringan Yahudi global), arogansi dan kebengisan diperlihatkan secara telanjang.
Alhasil, zionis Israel tengah membangun suatu negara dengan corak teologis--Yudaisme. Menggeser Al Quds dengan menelusuri jejak artefak raja Solomon. Sosok nabi yang begitu dikagumi umat Islam. Bahkan diceritakan begitu heroik dalam Al quran.
Namun Jejak Haikal Solomon (bait Sulaiman) itu, dicapai dengan darah bocah-bocah tak berdosa di Palestina. Merampok pemukiman penduduk muslim. Merusak lahan pertanian, menenggelamkan perahu nelayan di tepi Gaza. Apa yang sedang kita saksikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H