Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Deepening "Iqra"

28 April 2021   09:47 Diperbarui: 28 April 2021   10:06 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber : Janella.doc)

Malam itu 17 Ramadhan. Persis tanggal 6 Agustus 610 Masehi. Sekitar 1.411 tahun silam. Rasulullah melipir ke pinggir Mekah, persisnya di gua Hira. Sebagaimana kebiasaan kala malam-malam sebelumnya.

Langit Mekah malam itu resik. Tanpa sebintik awan yang mencorengnya. Bintang-bintang brojol tanpa aral, hingga cahayanya tembus ke tanah Haram. Angin bertiup sepoi dari ujung ke ujung kota Mekah dengan sejuknya. Seakan-akan langit, bintang dan angin sudah mafhum, bertakzim menunggu turunnya Al quran yang mulia di bumi.

Kira-kira penduduk Mekah malam itu sudah lelap. Suasana lengang, selain deram unta yang perlahan dan sebentar-sebentar di tepi rumah penduduk. Seantero warga Mekah tenggelam dalam heningnya malam, setelah hiruk pikuk siangnya di kota berjuluk ummul quro.

Demagog Quraisy semacam Abu Lahab dan Abu Jahal---berikut begundalnya yang terkenal sembrono dan badung, pun sudah dengkur memeluk bini masing-masing dengan sentosanya. Dalam cuaca malam yang sejuk jelang turunnya Al quran pertama kali.

Namun ada satu orang yang masih melek, ditiban gelisah. Melihat kaumnya yang makin keblinger. Dialah Rasulullah SAW. Maka ia pun menepi ke pinggir Mekah. Ke sebuah gua sempit yang terletak di sebelah utara masjidil Haram---gua Hira.

Letak gua Hira sekitar 5 km dari Mekah. Jarak tempuh 2,5 jam dengan jalan kaki. Ketinggian 700 mdpl dengan kontur bebatuan. Terjal. Rasulullah menepi di ketinggian tersebut tengah malam.

Di sebuah gua sumpek. Hanya dapat menampung dua orang. Itupun menyelit hingga semepet-mepetnya. Melihat gua itu di youtube, terbayanglah saya, Rasulullah tersuruk-suruk ke dalam gua Hira dalam gelap gulita. Ke dalam gua yang selonjor pun alangkah ribetnya.

Dengan jarak, ketinggian yang alang kepalang dan kontur bebatuan, maka kesana butuh daya upaya. Kalau letoi, sering encok dan punya riwayat asma, atau sedikit bengek, jangan harap bisa tembus di ketinggian 700 mdpl dengan kontur bebatuan nan terjal.

Rasulullah menampik riuh ke pinggir Mekah. Juga dari kelakuan badung kaum Quraisy Mekah yang sudah tak ketulungan. Ingar bingar dalam kekafiran dan jauh dari ajaran tauhid dan legacy leluhurnya, Ibrahim a.s.

Arab Mekah kala itu, di puncak kegelapan---extremely jahiliyah. Musyrik merebak, begal dimana-mana. Praktik riba apalagi. Ka'bah yang suci, dikotori aneka patung berhala.

Sentrum-sentrum ekonomi dan sosial, dihegemoni kepala-kepala suku dan menjadi sumber silang sengkarut---perang saudara/antar suku meledak saban waktu. Semata-mata merebut resource yang sama di sekitar baitullah.

Ajaran-ajaran Tauhid Ibrahim a.s, buyar di tengah-tengah geliat Mekah sebagai kota sentrum perdagangan dan ummul quro yang alangkah ramainya. Selain baitullah menjadi pusat ziarah seantero dataran Arab.

Praktek rentenir menggepe kaum kecil. Marginalisasi, dehumanisasi dan perbudakan terjadi dimana-mana. Harkat perempuan tak direken. Tiap anak perempuan dikubur hidup-hidup; karena dianggap aib. Perempuan tiada guna sepeser pun kala itu.

Saban malam, Rasulullah berkhalwat di sana--gua Hira. Menggali kesunyian. Menyandarkan jiwa yang gelisah pada hening. Mencekah enigma di baliknya.

Mencengkam spiritual dan ditarunya dalam lekuk hatinya yang bersih. Tenggelam sedalam-dalamnya pada kesyahduan sunyi---lepas dari geliat kota Mekah yang amburadul secara akidah.

Hingga suatu malam---17 Ramadhan, peristiwa penuh karomah itu berlangsung di tengah khusuknya itikaf Rasulullah. Tiba-tiba saja, sosok ruhul qudus turun mendekap Rasulullah kencang-kencang dari punggung; hingga Rasulullah engap-engap dalam gua sumpek itu.

Rasulullah sesak dan ketakutan, hingga biji keringat dingin meleleh di sekujur tubuh dan basah kuyup. Menggigil bukan main. Dalam situasi tegang dalam gua itulah, Jibril meminta Rasulullah membaca, "Iqra = bacalah."

Apa jadi? Rasulullah buta huruf. Dia seorang yang "ummi" alias tuna aksara. Maka dalam riwayat, Rasulullah pun kelimpungan, meladeni anjuran Jibril---toh dia seorang yang tuna aksara. "Aku tak bisa membaca wahai Jibril," begitu Rasulullah menimpali.

Maka Jibril pun meneruskan, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (QS : Al alaq : 1-5)

Alangkah sistematisnya kalau direnung-renung tentang ini (QS : Al alaq : 1-5). Pertama, ayat 1-3 yang merefleksikan Allah sebagai penyebab pertama dalam universalitas penciptaan---dengan kemutlakannya sebagai Al khalik. Dan ayat 4-5, merefleksikan transformasi manusia dengan qalam---sebagai simbolisasi ilmu pengetahuan.

Dalam gua sumpek hingga selonjor pun ribet itulah, peradaban Islam dimulai. Alangkah takutnya Rasulullah setelah itu, hingga tak henti-hentinya menggigil tak karuan. Saking takutnya, segera saja hengkang dari gua Hira.

Sampai di rumah, ia minta bininya; siti Khadijah menyelimutinya. Tangan halus Khadijah, menyentuh perlahan pundak lakinya yang amat dingin, sembari menyelimutinya dengan segenap kasih dari palung hati. "Apa gerangan yang menimpamu abang sayang, hingga begitu takutnya dirimu?"

Sembari menggigil dari balik selimut, Rasulullah pun dengan tergaguk-gaguk berkisah tentang hal ihwal di gua Hira pada bininya. Khadijah tahu, lakinya bakal menjadi manusia mulia pilihan Allah untuk menyuluh seantero isi bumi.

Dengan segenap kesejukan cinta dan kelembutan yang dituangkan secara seksama, ia menenangkan lakinya hingga tidur pulas---lalu turunlah wahyu berikut tentang "orang yang berselimut" yang tak kalah menggemetarkan Rasulullah, sebagaimana yang dikisahkan para sahabat.

Siti Khadijah r.a, menjadi sesungguh-sungguhnya bini teladan. Tempat yang pas untuk bersandar, kala gelisah. Tempat berteduh yang adem kala hati panas. Menghirup kasihnya melunturkan dahaga. Mendengar suaranya menenangkan. Disentuhnya meluruhkan semua gelisah.

Sosok Khadijah menjadi pelajaran bagi para bini di abad ini, agar sering-sering memperlakukan lakinya seperti Khadijah memperlakukan Rasulullah. Bila bini bagaikan Siti Khadijah, maka rumah bagaikan ubin mushola, adem dan bikin nyaman. Sebaliknya, bila rumah pengap seperti tempat ikan asap, karena kelakuan bini yang terus menerus bawel dan rewel.

***

Semiotika Iqra' tak menghendakinya berhenti sebagai teks final---yang mutlak dengan sendirinya atau secara serta merta. Karena setelahnya, dituruti dengan pengajaran- Allama bil qalam. Ada dua bagian penting pada ayat ini, yakni allama (pengajaran) bil qalam atau qalam, atau kalamus (bhs Yunani) yang artinya pena,

Al qalam, dalam semiotika Deseasure, adalah pesan simbol. Al qalam adalah penanda (signifiant), sementara pengajaran (allama) sebagaimana dalam QS : Al alaq : 4-5, adalah petanda (signifie)---sebagai proses konsepsi. Makna adalah relasi antara penanda---al qalam dan petanda--allama.

Secara fenomenologi, di dalam teks iqra, allama dan al qalam, ada pengalaman dan kesadaran sekaligus. Bahwa proses penciptaan dan membaca fenomenanya adalah pengalaman empirik yang ada di hadapan manusia---sebagai bentuk pengajaran.

Sementara mempelajarinya dengan dan sebagai al qalam, adalah kesadaran. Peristiwa indigenous, untuk menyerap semua yang terpampang di hadapan mata sebagai ciptaan dan sumber pengetahuan.

Pengalaman dan kesadaran tersebut, menjadi alat mendekatkan manusia dengan Al khalik. Karena otentisitas manusia adalah "menghambakan dirinya pada Al khalik (QS : Adz Dzaariyaat : 55).

Kesadaran manusia, dibentuk oleh kemampuan menyerap fakta empirik. Maka selain Al quran sebagai kitabullah, alam semesta pun merupakan ayat-ayat Ilahi yang perlu dibaca sebagai pengalaman dan kesadaran tertinggi.

Maka perintah membaca (iqra'), tidak mentok subject to hal ihwal skripturalistik. Tapi membaca secara universe---terhadap segala apa yang sudah diciptakan Allah. Itulah al qalam---dan proses diantaranya atau pembelajaran.

Selain menjadi momentum pertama kali Al quran diturunkan, malam 17 Ramadhan, juga merupakan peristiwa pembelajaran. Sebagaimana terminologi Iqra' dan al qalam dalam kedalaman (deepening) pemaknaannya. Wallahu;a'lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun