Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Andai Trump Itu Prabowo

15 Januari 2021   11:02 Diperbarui: 15 Januari 2021   11:10 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: viva.co.id)

Di balkon barok Old Town Square, komunis lahir di Cekoslowakia. Di tengah lautan manusia, dedengkot komunis, Klement Gottwald tegak berdiri.

Gettwald diapit dua rekannya. Tiba-tiba salju turun menghujam kepalanya. Ia tak bertopi. Clementis rekannya tersentuh. Topi bulu Clementis dipasangkan di kepala Gettwald.

Februari 1948, sejarah penting Ceko berdiri menuding langit. Foto momen Clementis memakaikan topi ke Gettwald, mengisi lembar demi lembar buku sejarah di Cekoslowakia yang komunis.

Empat tahun berjalan, Clementis dituding makar--berkhianat. Ia digantung hidup-hidup. Foto momen-momen ia memindahkan topi bulunya ke Gettwald, dihapus dari sejarah oleh rezim Gettwald.

Sejak itu, Gettwald berdiri sendiri di foto, di balkon barok Old Town Square-Ceko. Yang tersisa adalah topi bulu Clementis di kepalanya. Miland Kundera, menulisnya dalam epos KITAB LUPA DAN GELAK TAWA.

***

Perlawanan terberat politik kita adalah melawan lupa. 16 September 2019, Prabowo diapit puluhan ulama di Hotel Grand Cempaka, Jakarta. Mukanya yang begar, tampak teduh dan jelah.

Momen itu, diabadikan dalam laman-laman media mainstream, pun lini masa. Sebagai momentum penting sejarah politik seorang Prabowo.

Pakta integritas diterimanya dengan sumringah. Sejak itu, Prabowo tak sendiri. Di belakangnya berdedai para ulama. Namanya menyeruak ke ceruk pemilih ideologis muslim.

Di hadapan corong para ulama itu, sang jenderal berpidato menggegar mimbar. "Saya sendiri yang akan menjemput pulang Habib Rizieq Sihab." Sorak bergemuruh menyambut pidatonya.

Efek elektoral dipanen. Ia berhasil masuk ke kantung-kantung pemilih muslim ideologis.

Kursi partainya bertambah eksponensial. Partainya tembus sebagai kekuatan utama dan atmosfer perpolitikan Indonesia. Dengan corong para ulama itu, partai Prabowo mengeruk suara pemilih.

***

Tinta pakta integritas itu rasanya belum kering. Harapan pada Prabowo dan partainya sebagai kekuatan oposisi masih menyala.

harapan suara Parbowo masih menyalak menggegar mimbar pun belum lekang. Dua bulan setelah Pemilu 2019, Prabowo menyuruk ke lingkaran Jokowi. Ia masuk kabinet Jokowi-Ma'ruf

Sejak itu para ulama sendiri tanpa Prabowo. Yang tersisa adalah tanda tangan Parbowo dalam pakta integritas yang memorial itu. Berikut foto-foto romantika politik dalam lembar-lembar media.

HRS pulang sendiri ke tanah air. Tak jadi dijemput. Harapan pada demokrasi yang kokoh pupus. Ribuan umat menjemput HRS. Menanamkan asa padanya. Agar tak ditinggal sendiri.

Kini HRS sendiri---tanpa Prabowo kawannya. HRS sendiri di sebuah bilik penjara terpisah hingga menyesak. Ia dikekang tiga lapis sangkaan hukum.  

Dalam novelnya, Milan Kundera menulis sekali lagi, "PERJUANGAN MANUSIA MELAWAN KEKUASAAN ADALAH PERJUANGAN MANUSIA MELAWAN LUPA."

***

Politik dan demokrasi Amerika berada di tubir--menegangkan. The New York Times edisi (1/13) menulis, para ekstrem Republikan mengincar Biden. Jangan sampai tragedi John F Kennedy 1963 berulang. Sang Presiden modar diterkam pelor.

Trump tak meninggalkan pemilihnya. Ia menggugat kemenangan Biden. Ribuan orang dipimpinnya menyeruak---menyerbu gedung Capitol, Washington DC. Trump bukan bekas jenderal tempur.

Sejarah Trump adalah layar kusut demokrasi Amerika. Trump hanya tak lari medan, usai perang. Pemilihnya tak sendiri---tak ditinggal pergi.

Andai saja Trump mau menjadi bagian dari kabinet Biden, Amerika tak sekacau sekarang. Tapi Trump bukan Prabowo. Trump hanya tak ingin lupa. Melupakan pendukungnya. Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun