Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melampaui Islam Tengah

20 Desember 2020   11:56 Diperbarui: 20 Desember 2020   12:12 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: theguardian.com)

Seperti biasa, selalu ada diskusi-diskusi ringan di Markas BM PAN, sambil ketawa ketiwi. Tapi jangan salah, yang diomong ide-ide besar soal urusan negara. Tapi dengan gaya kelakar yang pecah. Meski ide segede gaban, yang omong anak-anak rakyat di Tebet yang kadang kemomos kalau kere, dan kadang mentereng kalu punya seperak dua perak.

Saya pun begitu, tak jago omong. Paling cuma dengar omongan para sepuh. Saya cuma menyusun perkakas pikiran mereka. Membikinnya jadi bandel atau kepala batu. Ibarat kata, saya dan lainnya, cuma sebatang sapu lidi. Tapi kalau sebatang dua batang sapu lidi ini dikekang utuh, pukulannya bisa perih seperti rotan.  

Saban malam kami omong soal urusan-urusan penting negara ini belakangan. Tapi kami omong perlahan. Setengah bisik. Sembari mata melerok ke luar. Jangan-jangan ada spy. Saking mawasnya, kami omong sembari kepala mengkerut di antara dua pundak. Serasa kepala mengkerut ibarat orang mengidap Mikrosefalus. Bukan apa-apa, sekarang ini kita perlu mawas. Sedikit lidah terpeleset, bisa digiring ke bui.

Biar tidak punya urusan dengan hukum, kami ambil urusan soal peran Islam ini bagaimana dalam urusan bangsa dan negara? Lalu kami omonglah soal ide Islam tengah. Suatu diskursus yang sudah sering saya dengar kala semester I di bangku kuliah. Masih di Komisariat HMI. Buku-buku tentangnya pun sudah sering kami kunyah seperti krepe. Saya sendiri, sedari dulu curiga dengan terminologi Islam tengah. Meski ide itu sering diomong Nur Kholis Majid (mantan Ketum PB HMI dua periode).  

Malah saya pikir, jangan-jangan Islam tengah itu sendiri menjadi parokial. Menjadi "tengah sentris." Dalam arti kata, tak sanggup mengakomodasi kiri, pun kanan. Akhirnya menjadi tengah---tapi nun jauh di sana. Tengah yang tak tersentuh atau tengah tak berdaya. Atau jangan-jangan Islam tengah itu sendiri---hanya karena kesasar di tengah-tengah---antara kiri dan kanan?

Sampean tahu bagaimana bentuk muka orang kesasar? Putar-putar macam gasing di tengah jalan, sembari hidung merengus dan keriput seperti kulit jeruk purut. Sudah pusing alang kepalang, akhirnya mencangkung di bibir jalan. Akibat linglung tiada tara, akhirnya selonjor di tengah-tengah jalan tanpa daya; sembari menunggu pertolongan Yang Maha Kuasa.

Saya berpikir-pikir, apakah Islam tengah itu masih relevan dalam mengkonsolidasi tatanan sosial moderen yang kian kompleks dan sophisticated? Atau terminologi Islam tengah, itu menjadi cocok karena adanya blok-blok sistem negatif---dalam rangka melenturkan keduanya (kiri dan kanan).

Perbedaan penggunaan Islam tengah, ada pada saat dalam kondisi powerfull dan powerless._ Orang atau kelompok powerfull, akan menggunakan Islam tengah untuk menghela kiri dan kanan dengan segala sumber daya yang ada padanya. Sementara orang _powerless,_ menggunakan Islam tengah untuk cari aman. Di sinilah perlu kehati-hatian menggunakan terminologi yang amat mulia tersebut---Islam tengah.

Dalam konteks dan kesadaran objektif demikian, maka setelah saya pikir-pikir, terminologi Islam tengah itu menjadi sangat konsolidatif di eranya, dan menjadi klise dalam struktur masyarakat Islam moderen (Indonesia), dengan diferensiasi yang begitu luas; dalam pelbagai aspek. Tak sekedar kiri, kanan atau di antara.

Artinya, term Islam tengah itu, menjadi kabur di tengah determinasi sosial yang pseudo; antara kiri dan kanan---atau sebagaimana; kala Istilah Islam tengah itu digunakan dalam konteks kehidupan Rasulullah di era masyarakat Madinah. Sandaran objektif Islam tengah kurang greget dan progresif,; apalagi menggunakannya dengan memakai memori masa lalu--nostalgia.   

***

Malah saya usul, kita harus selangkah lebih maju; MELAMPAUI ISLAM TENGAH. Diferensiasi masyarakat moderen saat ini, telah melampau dari sekedar kiri dan kanan. Peta kepenguasaan atas dunia, sudah bergeser pada model kepenguasaan atas data-data digital global di tengah-tengah geliat global artificial intelegent. Modeling masyarakat moderen (saat ini), sudah berbeda konstruksinya dari era dimana term Islam tengah itu lahir.

Mereka yang berkuasa, adalah yang menguasai space data digital global; berikut recource-nya. Mereka yang termarginal dan blangsak, adalah yang lemah dari sisi kepenguasaan atas ruang data digital global. Islam moderen bergelut diantara model kesenjangan baru; yang dampak turunannya sama sekali beda dengan era tatanan masyarakat Madina masa lalu.

Pertempuran masyarakat Islam global, wal khsus Islam Indonesia sebagai penduduk Islam terbesar dunia, ada di tengah-tengah kemelut kesenjangan dimaksud. Paroki-paroki sosial global, pun domestik, tak lagi sesederhana KIRI, KANAN ATAU ANTARA. Era globalisasi yang borderless, tak lagi sesederhana kiri atau kanan, atau pilihan tanggung diantara.

Belum juga globalisasi ini usai, ujuk-ujuk orang sudah bicara deglobalisme. Perang dagang dan ekonomi proteksionism ala Amerika vs China, juga membuat globalisasi yang berderless tadi terhuyung-huyung. Oleng seperti mabuk arak yang tanggung. Global uncertainty membikin ekonomi dunia lintang pukang.

Lalu masuk lah kita di fase paca global pandemic. Tatanan masyarakat dunia kembali selangkah lebih cepat bergerak dari globalisasi. Membicarakan modeling global business  yang di satu sisi menghasilkan transaksi ekonomi yang gemuk dan consumer surplus, tapi miskin sumbangsih pada GDP global.  Efek sosialnya ke mana-mana dengan tata dunia baru yang begitu cepat arus perubahannya. Tapi kesenjangan antara negara makin menganga. Di sisi lain, modeling terminologi kita tentang Islam,  masih bergerak lambat. Bermain-main pada wacana Islam inklusi yang tak jelas juntrungan dan nostalgik.

Dimana-mana, konflik sosial itu selalu dimulai dari kesenjangan. Demikian pun secara domestik---Indonesia. Islam, dan kelompok politik Islam, harus mampu mereposisi peran politiknya, menyikapi persoalan kesenjangan yang berubah-ubah secara cepat dan ketat. Ini bukan soal kiri atau kanan, atau di antara. Persoalannya, Islam tengahnya kita itu ada sebagai powerfull atau sebagai powerless. Wallahu'alam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun