Malah saya usul, kita harus selangkah lebih maju; MELAMPAUI ISLAM TENGAH. Diferensiasi masyarakat moderen saat ini, telah melampau dari sekedar kiri dan kanan. Peta kepenguasaan atas dunia, sudah bergeser pada model kepenguasaan atas data-data digital global di tengah-tengah geliat global artificial intelegent. Modeling masyarakat moderen (saat ini), sudah berbeda konstruksinya dari era dimana term Islam tengah itu lahir.
Mereka yang berkuasa, adalah yang menguasai space data digital global; berikut recource-nya. Mereka yang termarginal dan blangsak, adalah yang lemah dari sisi kepenguasaan atas ruang data digital global. Islam moderen bergelut diantara model kesenjangan baru; yang dampak turunannya sama sekali beda dengan era tatanan masyarakat Madina masa lalu.
Pertempuran masyarakat Islam global, wal khsus Islam Indonesia sebagai penduduk Islam terbesar dunia, ada di tengah-tengah kemelut kesenjangan dimaksud. Paroki-paroki sosial global, pun domestik, tak lagi sesederhana KIRI, KANAN ATAU ANTARA. Era globalisasi yang borderless, tak lagi sesederhana kiri atau kanan, atau pilihan tanggung diantara.
Belum juga globalisasi ini usai, ujuk-ujuk orang sudah bicara deglobalisme. Perang dagang dan ekonomi proteksionism ala Amerika vs China, juga membuat globalisasi yang berderless tadi terhuyung-huyung. Oleng seperti mabuk arak yang tanggung. Global uncertainty membikin ekonomi dunia lintang pukang.
Lalu masuk lah kita di fase paca global pandemic. Tatanan masyarakat dunia kembali selangkah lebih cepat bergerak dari globalisasi. Membicarakan modeling global business yang di satu sisi menghasilkan transaksi ekonomi yang gemuk dan consumer surplus, tapi miskin sumbangsih pada GDP global. Efek sosialnya ke mana-mana dengan tata dunia baru yang begitu cepat arus perubahannya. Tapi kesenjangan antara negara makin menganga. Di sisi lain, modeling terminologi kita tentang Islam, masih bergerak lambat. Bermain-main pada wacana Islam inklusi yang tak jelas juntrungan dan nostalgik.
Dimana-mana, konflik sosial itu selalu dimulai dari kesenjangan. Demikian pun secara domestik---Indonesia. Islam, dan kelompok politik Islam, harus mampu mereposisi peran politiknya, menyikapi persoalan kesenjangan yang berubah-ubah secara cepat dan ketat. Ini bukan soal kiri atau kanan, atau di antara. Persoalannya, Islam tengahnya kita itu ada sebagai powerfull atau sebagai powerless. Wallahu'alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H