Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Debat Said Didu Vs Prastowo

9 Desember 2020   02:33 Diperbarui: 9 Desember 2020   02:41 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber : Angela Hsieh / NPR)

Di twitterlaand, Said Didu dan stafsus Menkeu Prastowo Yustinus debat sampai abu naik. Kalau berdekatan, rasanya mereka dua akan saling jambak. Apa soal? Ini urusan soal terminologi negara bangkrut.

Pertama-tama, saya kurang setuju dengan Didu. Teorinya lemah. Sebelumnya Prastowo debat dengan Rizal Ramli. Ujung-ujungnya RR blokir akun Prastowo. Saya agak kesal disitu. Debat saja. Kami nonton. Ga usah blokir-blokir akun.

Didu bilang, negara bangkrut itu, bila debt to GNI ratio makin terkerek. Maksudnya, rasio utang terhadap pendapatan negara makin meningkat.

Kalau lihat cepat-cepat memang tampak; pajak sebagai sumber utama pendapatan selalu shortfall. Tax ratio juga ga naik-naik. Tapi tak sesimpel itu memahaminya.

Pendapatan melorot, sementara government expenditure makin tinggi. Posturnya dimana kalau pada APBN?

Bisa dilihat pada primary balance atau neraca keseimbangan primer. KP APBN itu menggambarkan selisih dari pendapatan negara - belanja (di luar pembayaran bunga utang).

Bila surplus, maka KP positif. Ada dana yang tersedia untuk bayar utang. Demikianpin sebaliknya manakala KP negatif. Akan gali lobang tutup lobang, sebagaimana lagu bang Roma.

Kalau kita lihat data, maka pada periode 2000 hingga 2011, KP selalu positif. Sejak 2012 sd 2018 tercatat selalu negatif. Dilihat dari tahun, ini periode SBY ke Jokowi.

Jadi kalau soal politik fiskal, Didu jangan cuci tangan, lalu jorokin Jokowi. Era SBY KP juga negatif kok. Kan om Didu wakil menteri kala itu. Sama-sama berdalil, utang itu sebagai konsekuensi ekspansi fiskal.

Hanya saja, era Jokowi, pemerintah sangat optimis, sehingga belanja pemerintah jor-joran. Namun sumber pendapatan negara belum ekspansi dan sustain.

Apakah negara bangkut itu dilihat dengan kalkulatur household. Dimana bila pengeluaran bini lebih besar dari pendapatan suami, maka auto bangkrut? Atau kalau sudah gali lobang titup lobang berarti bangkrut?

Sabar bos ! Memang kewajiban atau liability itu dilihat dari kesanggupan menunaikan. Baik dalam jangka pendek pun panjang. Tapi ada banyak sekali teori tentang ihwal ini.

Tentu aset negara ini besar. Cuma kebanyak aset tidur. Belum di create/direvaluasi sehingga aset tersebut bisa dimonetisasi sebagai sumber dana pemerintah. Performance utang juga bisa dilihat dari rasio debt to total asset. Dan ada banyak teori lain.

Negara bangkrut itu bila sudah gagal bayar utang. Banyak cara melihatnya. Misalnya dari sisi CDS atau credit default swap atau jaminan untuk risiko gagal bayar debitur. Angka CDS RI trend-nya menurun (saat ini).

CDS itu produk derivatif yang dibeli oleh pemberi utang dari investor lain sebagai penjamin (guarantor). Si pemberi pinjaman membayar premi pada guarantor.

Manakala, amit-amit jabang bayi, kalau pemerintah (selaku penerbit obligasi) gagal bayar utang. CDS ini ditukar; dengan risiko gagal bayar oleh guarantor (penjual CDS).

Dari sisi CDS obligasi pemerintha tenor 5 tahun, trend-nya menurun. Itu artinya persepsi investor terhadap RI masih baik. Masih solvable. Namun bisa saja dibandingkan dengan CDS peer cauntries atau dengan negara sebantaran.

Ukuran bangkrut tidaknya negara, itu soal panjang dan debatable. Karena memang pendekatan terhadapnya begitu banyak teori. Terkecuali negara ini semacam Warteg.

Hanya saja, antara Didu dan staf Menkeu itu harus punya benang merah. Biar kalau mau debat, mereka satu frekuensi. Kalau sudah satu frekunesi, silahkan baku lipat. Kami nonton !

@by Munir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun