Sabar bos ! Memang kewajiban atau liability itu dilihat dari kesanggupan menunaikan. Baik dalam jangka pendek pun panjang. Tapi ada banyak sekali teori tentang ihwal ini.
Tentu aset negara ini besar. Cuma kebanyak aset tidur. Belum di create/direvaluasi sehingga aset tersebut bisa dimonetisasi sebagai sumber dana pemerintah. Performance utang juga bisa dilihat dari rasio debt to total asset. Dan ada banyak teori lain.
Negara bangkrut itu bila sudah gagal bayar utang. Banyak cara melihatnya. Misalnya dari sisi CDS atau credit default swap atau jaminan untuk risiko gagal bayar debitur. Angka CDS RI trend-nya menurun (saat ini).
CDS itu produk derivatif yang dibeli oleh pemberi utang dari investor lain sebagai penjamin (guarantor). Si pemberi pinjaman membayar premi pada guarantor.
Manakala, amit-amit jabang bayi, kalau pemerintah (selaku penerbit obligasi) gagal bayar utang. CDS ini ditukar; dengan risiko gagal bayar oleh guarantor (penjual CDS).
Dari sisi CDS obligasi pemerintha tenor 5 tahun, trend-nya menurun. Itu artinya persepsi investor terhadap RI masih baik. Masih solvable. Namun bisa saja dibandingkan dengan CDS peer cauntries atau dengan negara sebantaran.
Ukuran bangkrut tidaknya negara, itu soal panjang dan debatable. Karena memang pendekatan terhadapnya begitu banyak teori. Terkecuali negara ini semacam Warteg.
Hanya saja, antara Didu dan staf Menkeu itu harus punya benang merah. Biar kalau mau debat, mereka satu frekuensi. Kalau sudah satu frekunesi, silahkan baku lipat. Kami nonton !
@by Munir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H