Di twitterlaand, Said Didu dan stafsus Menkeu Prastowo Yustinus debat sampai abu naik. Kalau berdekatan, rasanya mereka dua akan saling jambak. Apa soal? Ini urusan soal terminologi negara bangkrut.
Pertama-tama, saya kurang setuju dengan Didu. Teorinya lemah. Sebelumnya Prastowo debat dengan Rizal Ramli. Ujung-ujungnya RR blokir akun Prastowo. Saya agak kesal disitu. Debat saja. Kami nonton. Ga usah blokir-blokir akun.
Didu bilang, negara bangkrut itu, bila debt to GNI ratio makin terkerek. Maksudnya, rasio utang terhadap pendapatan negara makin meningkat.
Kalau lihat cepat-cepat memang tampak; pajak sebagai sumber utama pendapatan selalu shortfall. Tax ratio juga ga naik-naik. Tapi tak sesimpel itu memahaminya.
Pendapatan melorot, sementara government expenditure makin tinggi. Posturnya dimana kalau pada APBN?
Bisa dilihat pada primary balance atau neraca keseimbangan primer. KP APBN itu menggambarkan selisih dari pendapatan negara - belanja (di luar pembayaran bunga utang).
Bila surplus, maka KP positif. Ada dana yang tersedia untuk bayar utang. Demikianpin sebaliknya manakala KP negatif. Akan gali lobang tutup lobang, sebagaimana lagu bang Roma.
Kalau kita lihat data, maka pada periode 2000 hingga 2011, KP selalu positif. Sejak 2012 sd 2018 tercatat selalu negatif. Dilihat dari tahun, ini periode SBY ke Jokowi.
Jadi kalau soal politik fiskal, Didu jangan cuci tangan, lalu jorokin Jokowi. Era SBY KP juga negatif kok. Kan om Didu wakil menteri kala itu. Sama-sama berdalil, utang itu sebagai konsekuensi ekspansi fiskal.
Hanya saja, era Jokowi, pemerintah sangat optimis, sehingga belanja pemerintah jor-joran. Namun sumber pendapatan negara belum ekspansi dan sustain.
Apakah negara bangkut itu dilihat dengan kalkulatur household. Dimana bila pengeluaran bini lebih besar dari pendapatan suami, maka auto bangkrut? Atau kalau sudah gali lobang titup lobang berarti bangkrut?