Pak Ahok, saya berasal dari Nusa Tenggara Timur. Letaknya di Desa Baranusa, Kecamatan Pantar Kabupaten Alor. Saya terlahir dari keluarga Islam taat. Ayah saya guru madrasah. Saking taatnya, saya dan saudara-saudara kandung, tak diizinkan menempuh pendidikan di sekolah umum.
Kami rata-rata, dari SD sampai Kuliah, selesai di institusi pendidikan Islam. Bahkan kakak-kakak saya di kirim ayah ke tanah Jawa untuk belajar Islam di sana. Penduduk Baranusa, tempat saya tumbuh besar adalah 100% beragama Islam. Salah satu episentrum gerakan dakwah dan politik Islam terkuat di Pulau Pantar Kabupaten Alor adalah Baranusa. Baranusa, selalu menjadi salah satu barometer politik Islam di Pulau Pantar Kabupaten Alor.
HOS Cokroaminoto, pernah menginjakkan kakinya di Baranusa. Satu-satunya bekas tangan HOS Cokroaminoto di Kampung kami adalah SMP Cokroaminoto. Hingga sekarang, SMP ini tak mau dinegerikan oleh pengurus Yayasan, karena menjadi simbol dan jejak sejarah keberadaan HOS Cokroaminoto di Baranusa. Mayoritas orang tua pendahulu di kampung adalah mantan aktivis PSI (Partai Serikat Islam) dengan tradisi keberislaman yang berakar kuat pada tradisi PERSIS (Persatuan Islam) yang gerakan dakwahnya berhaluan pada pemurnian ajaran Islam.
Pada tahun 1522, Ferdinand Magellan, seorang penjelajah berkebangsaan Portugis, dalam perjalanan pulang ke Eropa dari Maluku, menulis kisah persinggahannya di Pulau Pantar. Ia melihat suatu komunitas Islam yang tinggal di Kampung bernama Maloku; Gelubala atau Baranusa. Maloku adalah kampung tempat tinggal para pendakwah dari Maluku yang diutus Kesultanan Tarnate untuk mensy’arkan Islam di Baranusa-NTT pada tahun 1522. Dari jejak sejarah dan tradisi keislaman yang ketat itulah saya lahir. Tentu, langgam keislaman saya, sebangun dengan konstruksi sosiologis tempat saya tumbuh dan dibesarkan (Lihat: Baranusa sejarah dan tradisi Islam yang tersembunyi)
Tapi ada cerita lain di balik itu. Sejak di bangku Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) kelas I, setiap hari Natal ayah saya memboyong kami berempat, jalan kaki puluhan kilo meter ke Latunang, Desa Kolundama, mendatangi saudara ayah yang beragama Kristen. Mereka saudara sedarah kami dari suku Karlautuba, datang dari satu keturunan dan terpisah dengan menganut agama yang berbeda karena masuknya pengaruh Islam dari kesultanan Ternate melalui jalur perdagangan dan masuknya kolonial Belanda ke pulau Pantar Kabupaten Alor. Hal serupa dilakukan saudara-saudara ayah yang beragama Kristen di setiap hari Lebaran.
Di Pantar, khususnya di Baranusa, ada satu istilah yang namanya “Lutta.” Lutta adalah istilah kekerabatan orang pesisir yang muslim dan orang pedalaman yang Kristen. Meski tak ada hubungan darah, tapi kalau sudah terikat dalam relasi Lutta,maka secara sosial, relasi dan kekerabatan Lutta akan terjalin dalam semua urusan. Hubungan Lutta itu persis hubungan sedarah meski beda agama, bahasa dan tempat tinggal.
Yang paling ekstrem lagi adalah Istilah “Bela.” Bela adalah sumpah adat yang pernah dilakukan leluhur di Pantar, antara warga pesisir (muslim) dan pedalaman (Kristen) untuk tak saling bermusuhan sampai tuju turunan. Tentang Bela ini, saya pernah punya kisah sendiri.
Sewaktu di bangku Madrasah Ibtidaiyah kelas V, kami merayakan 17 Agustus di Desa Kayang-Pantar. Seluruh sekolah yang ada di beberapa desa datang ke Desa Kayang merayakan 17 Agustus selama tiga hari. Suatu ketika, saya menyaksikan ada segerombolan pemuda dari Desa Tude-Puntaru, masuk ke rumah-rumah warga Desa Kayang, mengambil semua barang tanpa izin; dari jagung, ubi, pisang, kelapa hingga hewan ternak di rumah warga.
Warga Desa Kayang hanya diam menyaksikan aksi tak lazim sekelompok pemuda dari Tude itu. Kami dari desa lain, hanya tertegun dan kesal melihat aksi pemuda-pemuda dari Desa Tude. Ada teman kami yang waktu itu nyaris marah, namun ia ditahan oleh orang tua di Desa Kayang dan mengatakan, "Hal tak lumrah yang kami saksikan adalah suatu kesepakatan adat yang sudah terjadi sejak nenek moyang. Mereka terikat oleh Bela. Hal serupa akan dilakukan warga Desa Kayang, bila menginjakkan kaki di Desa Tude.”
Berdasarkan keterangan orang tua adat di Desa Kayang, antara dua desa ini (Kayang dan Tude) terikat oleh sumpah adat (Bela) untuk tak saling bermusuhan hingga tuju turunan. Ada konsekuensi-konsekuensi magis yang menimpa salah satu desa, bila ada yang melanggar Bela. Rata-rata orang di Pantar, memiliki keterikatan Bela yang secara sosiologis menjadi entitas nilai yang mampu meratakan sekat-sekat sosial dan teologis. Demikian pun meminimalisasi kerentatanan konflik horizontal.
Setiap akan terjadi konflik, Bela selalu menjadi tumpuan peredam gejolak, dan masyarakat dengan sendirinya reda dengan sumpah adat nenek moyang mereka. Bayangkan, Alor kabupaten yang kecil itu, memiliki puluhan budaya dan adat-istiadat yang berbeda dengan 13 bahasa daerah. Jika tak ada nilai-nilai lokal seperti Bela, Lutta dan sejenisnya, akan terjadi tabrakan luar biasa dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
Saya pernah datang ke Desa Alila Kabupaten Alor. Di Desa Alila, saya temukan ada gereja yang diberi nama “Gereja Ismail" dan masjid yang diberi nama "Masjid Imanuel.” Fenomena langkah ini terjadi karena yang membangun gereja yang diberi nama Ismail ini adalah saudara-saudara Islam yang ada di Desa Alila. Hal yang sama sebaliknya pada masjid Imanuel; yang bekerja membangun masjid Ismail adalah warga Desa Alila yang beragama Nasrani.
Hal yang terjadi pada masyarakat Desa Kayang dan Tude serta warga Alila di Alor, adalah sebuah potret kearifan lokal (local wisdom) dalam membangun konsensus dan soliditas sosial berdasarkan nilai-nilai kearifan yang tumbuh orisinal, berdasarkan keprimitifan akal dan pengetahuan warga. Tapi lagi-lagi, nilai-nilai lokal ini, memiliki kecerdasan sosial dalam merekatkan kebhinekaan.
Lahir dari kultur keluarga dan masyarakat yang toleran, membuat saya tak heran, ketika duduk di bangku kuliah di Universitas Muhammadiyah Kupang-NTT, 80 % mahasiswanya Bergama Kristen dan Katolik. Bahkan di Jurusan saya (MIPA/Biologi), dari 31 mahasiswa, hanya kami tujuh orang yang beragama Islam. Jauh sebelum UU Sisdiknas terkait kurikulum pendidikan agama yang heboh itu, Universitas Muhammadiyah Kupang telah menetapkan Pendidikan Agama Kristen/Katolik sebagai salah satu MKDU.
Jadi pak Ahok, Indonesia ini sejak Pak Ahok belum lahir, sudah dibangun dari pilar-pilar sosial dan tumbuh orisinil dari rahim sosiologis penduduk lokal. Dari kearifan lokal inilah integrasi sosial terbentuk dalam merajut kebinekaan. Orang Indonesia sudah hidup rukun jauh-jauh hari dengan modal sosial dan adat-istiadat.
Faktor “agama dan teologis,” adalah komponen terkecil dalam sejarah unifikasi keragaman Indonesia. Memang, agama dan tembok teologis “seakan” begitu tebal memberi demarkasi soal perdebatan teologis; pun beragam paroki keyakinan dengan setumpuk friksi tafsir dan pemahaman di dalamnya. Demikian pun dalam ranah tertentu, kita bisa maklumi, agama juga menjadi faktor helaan dalam suatu gerakan sosial dan politik. Sederhananya, hal itu menggambarkan tak ada agama “tanpa kata sifat.”
Perbedaan-perbedaan itu tak bisa dihela secara paksa agar terkumpul bertumpuk-tumpuk seakan menjadi satu dan seragam seperti pikiran dan keyakinan Pak Ahok tentang Demokrasi yang “Satuisme”.
Ini Indonesia bos, ada cara dan perlakuan sosial dan budaya untuk mendudukkan keragaman dalam satu bangku; apalagi “bangku politik.” Apalagi bangku poitik yang keempat kakinya dimodali oleh para cukong dan predator. Demokrasi di Indonesia itu menyangkut perlakukan sosial dan budaya tanpa perlu menghapus secara paksa berbedaan-perbadaan di dalamnya.
Menabrak tembok besar bernama “agama” bukan cara meratakan perbedaan. Cara yang ditempuh Pak Ahok dengan berulang kali menyoal politik agama, itu berbeda dengan langgam keindonesiaan. Indonesia bisa menjadi suatu negara kesatuan seperti ini, bukan dengan cara memaksakan persamaan apalagi menabrak perbedaan.
Kita menjadi Indonesia hari ini, hanya karena pemakluman-pemakluman atas segala perbedaan yang kita miliki masing-masing. Tak dipaksa seragam dan tak memaksa menabrak perbedaan. Itulah sebabnya, hari ini kita tak meratap di pusara kenangan sebagai sebuah negara yang pernah ada seperti Uni Soviet yang pecah berkeping-keping dan negara-negara Arab yang diubek-ubek oleh konflik dan kekersan bersenjata akibat friksi politik. Itulah sebabnya hari ini kedua tapak kaki Pak Ahok masih berpijak di tanah Indonesia. Itulah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H