Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Madrasah Kebhinekaan untuk Ahok

16 Desember 2016   13:33 Diperbarui: 18 Desember 2016   11:51 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pernah datang ke Desa Alila Kabupaten Alor. Di Desa Alila, saya temukan ada gereja yang diberi nama “Gereja Ismail" dan masjid yang diberi nama "Masjid Imanuel.” Fenomena langkah ini terjadi karena yang membangun gereja yang diberi nama Ismail ini adalah saudara-saudara Islam yang ada di Desa Alila. Hal yang sama sebaliknya pada masjid Imanuel; yang bekerja membangun masjid Ismail adalah warga Desa Alila yang beragama Nasrani.

Hal yang terjadi pada masyarakat Desa Kayang dan Tude serta warga Alila di Alor, adalah sebuah potret kearifan lokal (local wisdom) dalam membangun konsensus dan soliditas sosial berdasarkan nilai-nilai kearifan yang tumbuh orisinal, berdasarkan keprimitifan akal dan pengetahuan warga. Tapi lagi-lagi, nilai-nilai lokal ini, memiliki kecerdasan sosial dalam merekatkan kebhinekaan.

Lahir dari kultur keluarga dan masyarakat yang toleran, membuat saya tak heran, ketika duduk di bangku kuliah di Universitas Muhammadiyah Kupang-NTT, 80 % mahasiswanya Bergama Kristen dan Katolik. Bahkan di Jurusan saya (MIPA/Biologi), dari 31 mahasiswa, hanya kami tujuh orang yang beragama Islam. Jauh sebelum UU Sisdiknas terkait kurikulum pendidikan agama yang heboh itu, Universitas Muhammadiyah Kupang telah menetapkan Pendidikan Agama Kristen/Katolik sebagai salah satu MKDU.

Jadi pak Ahok, Indonesia ini sejak Pak Ahok belum lahir, sudah dibangun dari pilar-pilar sosial dan tumbuh orisinil dari rahim sosiologis penduduk lokal. Dari kearifan lokal inilah integrasi sosial terbentuk dalam merajut kebinekaan. Orang Indonesia sudah hidup rukun jauh-jauh hari dengan modal sosial dan adat-istiadat.

Faktor “agama dan teologis,” adalah komponen terkecil dalam sejarah unifikasi keragaman Indonesia. Memang, agama dan tembok teologis “seakan” begitu tebal memberi demarkasi soal perdebatan teologis; pun beragam paroki keyakinan dengan setumpuk friksi tafsir dan pemahaman di dalamnya. Demikian pun dalam ranah tertentu, kita bisa maklumi, agama juga menjadi faktor helaan dalam suatu gerakan sosial dan politik. Sederhananya, hal itu menggambarkan tak ada agama “tanpa kata sifat.”

Perbedaan-perbedaan itu tak bisa dihela secara paksa agar terkumpul bertumpuk-tumpuk seakan menjadi satu dan seragam seperti pikiran dan keyakinan Pak Ahok tentang Demokrasi yang “Satuisme”.

Ini Indonesia bos, ada cara dan perlakuan sosial dan budaya untuk mendudukkan keragaman dalam satu bangku; apalagi “bangku politik.” Apalagi bangku poitik yang keempat kakinya dimodali oleh para cukong dan predator. Demokrasi di Indonesia itu menyangkut perlakukan sosial dan budaya tanpa perlu menghapus secara paksa berbedaan-perbadaan di dalamnya.

Menabrak tembok besar bernama “agama” bukan cara meratakan perbedaan. Cara yang ditempuh Pak Ahok dengan berulang kali menyoal politik agama, itu berbeda dengan langgam keindonesiaan. Indonesia bisa menjadi suatu negara kesatuan seperti ini, bukan dengan cara memaksakan persamaan apalagi menabrak perbedaan.

Kita menjadi Indonesia hari ini, hanya karena pemakluman-pemakluman atas segala perbedaan yang kita miliki masing-masing. Tak dipaksa seragam dan tak memaksa menabrak perbedaan. Itulah sebabnya, hari ini kita tak meratap di pusara kenangan sebagai sebuah negara yang pernah ada seperti Uni Soviet yang pecah berkeping-keping dan negara-negara Arab yang diubek-ubek oleh konflik dan kekersan bersenjata akibat friksi politik. Itulah sebabnya hari ini kedua tapak kaki Pak Ahok masih berpijak di tanah Indonesia. Itulah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun