Di tengah-tengah budaya patriarki masyarakat NTT kuat, daya juang dan Survivalitas kaum ibu, adalah epos yang kadang lupa direkam. Betapa ibu-ibu di kampung kami di NTT adalah wanita yang perkasa. Mereka mengambil air pagi hari ke kali, mengumpulkan kayu bakar, membersihkan kebun, menyiapkan makanan untuk anak-anak dan suami; bahkan membersihkan ladang hingga mengais rejeki berdagang sembako sekedar membantu suami agar asap dapur tetap mengepul.
Sejak kepergian Ayah, rumah terasa sepi. Kini ibu sendiri di rumah. Kadang suka gundah kalau tak sempat pulang berlebaran bersamanya. Ibu selalu menguatkan, kalau saya sampaikan belum bisa pulang kampung karena banyak hal. “Kalau kamu tak bisa pulang, kirim saja doa, agar ibu selalu sehat dan bisa lihat kamu nanti jadi orang besar.” Ibu selalu menyampaikan ini dengan nada suara sedikit sedih. Saya selalu dihujam kerinduan setiap lebaran, agar bisa kembali ke tanah leluhur. Tempat kami tumbuh besar, berlari di atas debu merah tanah baranusa, atau tangan kecil kami yang pernah mengayuh teduhnya nya laut teluk Baranusa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H