[caption caption="(Foto: Okezone)"][/caption]Dua atau tiga bulan terakhir, berita soal dugaan korupsi Ahok dalam kasus RS Sumber Waras mengorek curiga publik. Meskipun masih dugaan, siapa nyana Ahok yang sesumbar mencitrakan dirinya bersih 100 persen dan tokoh pemberantas korupsi, pudar dan ingar-bingar terseret kasus Sumber Waras yang tengah menggulungnya kepusaran hukum. Rakyat tak tahu apa itu status hukum Ahok. Entah dia masih saksi atau nyaris tersangka.
Boro-boro rakyat memahami “Presumption of Innocence atau asas praduga tak bersalah." Rakyat memahami setiap peristiwa hukum di negeri ini dengan logika mentah. Makanya meski orang masih berstatus saksi atau tersangka, sudah dikonstruksi bersalah oleh publik sebelum palu hakim diketuk. Seperti mereka yang akhirnya terbukti korup, sebelumnya dihakimi publik. Rakyat acapkali kadung menghakimi koruptor, sebelum palu hakim memvonis. Penghakiman publik acap kali acap kali menyalip proses peradilan, karena begitu murkanya pada korupsi dengan berbagai modusnya.
Ahok tercoreng?
Menjelang Pligub DKI,Ahok tak mau citranya moreng. Pencitraan soal sosoknya yang bersih pun terancam luntur. Temuan hasil audit BPK soal kinerja keuangan Ahok yang bobrok di lingkup pemprov DKI pun ikut menguatkan sangkaan publik pada Ahok yang selama ini dikira bersih.
Dus di tengah lunturnya kepercayaan publik pada KPK yang baru, digadang-gadang, dugaan Ahok terlibat dalam korupsi Sumber Waras pun bakal terkeram di KPK. Meskipun begitu, skandal Sumber Waras ini masih saja menghangat di ruang-ruang publik.
Tabiat Ahok yang temperamen dan meledak-ledak, sontak diam sejak ia dipecundangi BPK dan terseret dalam dugaan korupsi SW. Ahok seperti kehilangan momentum membersihkan diri, tak ada peristiwa-peristiwa politik menarik yang diharap bisa mengalihkan konsentrasi warga Jakarta dan media pada persoalan hukum Ahok.
Lalu tiba-tiba diawal 2016, peristiwa naas tabrakan di Kali Jodoh itu terjadi. Seorang pengendara Fortuner selepas mengecap selangkangan di lokasi Prostitusi Kali Jodoh menabrak empat orang hingga tewas di kawasan papalele cinta itu. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan “tragedi maut Fortuner,” dan selanjutnya mengangkat industri ngangkang dan ragam bisnis prostitusi itu ke ruang Publik.
Seturut emosi warga Jakarta yang meletus soal tragedi maut Fortuner di Kali Jodoh, Ahok angkat suara menggusur atau meminjam eufemisme Ahok Penertiban. Alih-alih belajar dari penggusuran Kampung Pulo, kini Ahok sudah siap menggandeng Polda Metro Jaya dan Pangdam Jaya. Lain hal jika Ahok memilih jalan persuasif, belum apa-apa ia sudah merencanakan tindakan represif.
Seakan-akan watak represif sudah melekat pada Ahok sebagai cara-cara mengambil keputusan. Meski kadang-kadang dibilang kejam dan fasis. Ahok terus angkat suara di media, tanpa henti mengambil sikap vis a vis dengan warga atau preman Kali Jodoh. Lagi-lagi kali ini Ahok membuat persoalan yang mestinya bisa persuasif menjadi cenderung represif. Menghadapkan Pemprov dengan Warga Kali Jodoh. Perhatian media mainstream dan sosial media kemudian beralih ke Kali Jadoh. Bravo Ko Ahok. Berhasil mengalihkan perhatian publik dan media, dari Sumber Waras ke Kali Jodoh.
Pasca Kali Jodoh
Pernah di NTT pada era Gubernur Piet A Tallo, ada suatu cerita jokes yang bikin ngangkang, ups..maksudnya ngakak. Di Kupang-NTT ada pusat kegiatan prostitusi terkenal; namanya KD, atau Karang Dempel. Pekerja di KD ini suatu ketika pernah diwawancara wartawan media lokal. Begini isi wawancaranya :