Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Insentif Demografi dan LGBT

2 Februari 2016   08:47 Diperbarui: 3 Februari 2016   17:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para aktivis pegiat LGBT selalu beralasan, bahwa menjadi LGBT adalah kodrat; fitrah yang diberikan Tuhan, tapi kemudian bila kita telaah, apakah demikian? Secara genealogis, faktor-faktor yang bisa diwarisi dalam pola-pola hereditas, adalah aspek fenotipe dan genotipe.

Sementara sifat, tingkah laku adalah sifat bawaan parental yang mana itu berkaitan dengan pendidikan sejak dini oleh orang tua yang sifatnya temporal. Jadi tak ada hubungannya dengan fitrah. Fitrah biologisnya adalah memiliki organ genital layaknya sebagai seorang laki-laki dan perempuan; berikut memfungsikan organ genitalnya tersebut sebagaimana kodratnya.

Sementara sifat, tingkah laku adalah berkaitan dengan cara mendidik, membesarkan. Jadi berbeda antara fitrah; kodrat yang sifatnya permanen;Ilahi dan pembawaan kepribadian yang sifatnya sosial; temporal. Antara kodrat dan sosial, adalah dua aspek yang perbedaannya sudah jelas.  

Tarulah LGBT bisa berketurunan dengan penggunaan teknologi kedokteran seperti bayi tabung dan sejenisnya. Tapi lagi-lagi, usaha tersebut menafikan kodrat, di mana rekayasa vertilisasi sel sperma dan ovum melalui bayi tabung, adalah perspektif yang tetap meletakkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodrat biologisnya masing-masing.

Lalu, di mana substansi argumentasi, bahwa LGBT adalah sebuah fitrah; kodrat? Apakah pada dimensi biologi yang sifatnya permanen ? Atau pada dimensi sifat atau kepribadian yang temporal? Dari titik inilah, kemudian, LGBT sebagai fitrah atau hukum adikodrati itu menjadi sumir, lemah argumentasinya. Lalu kemudian, tak salah, bila LGBT ini oleh terminologi pemerintah, dikategorikan sebagai masalah sosial.

Tarulah LGBT bisa memiliki anak dengan bayi tabung, tapi apakah setiap LGBT, bisa melakukan hal tersebut dengan biaya ratusan juta? Bagaimana pendidikan dan karakter anak yang akan dibangun dalam keluarga tersebut? Seorang anak yang normal tetap membutuhkan sosok Ayah dan ibu sebagai figur sentral dalam keluarga. Lagi-lagi di titik inilah, kita khawatir, bila LGBT ini menjadi salah satu dari sekian masalah demografi.

Oleh karena itu, kita setuju, jika LGBT ini sebagai sebuah fakta sosial yang hak-haknya harus dilindungi negara tanpa diskriminasi, sembari negara berkewajiban mendidik, membina masalah sosial berkaitan dengannya.

Namun melegalkan LGBT sebagai suatu institusi keluarga sebagaimana normalnya orang berkeluarga, adalah suatu masalah dan tentu ancaman bagi masa depan demografi Indonesia, bila mana gejala LGBT ini menjadi suatu konstruksi sosial, sebagaimana krisis demografi Jepang saat ini. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun