Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Insentif Demografi dan LGBT

2 Februari 2016   08:47 Diperbarui: 3 Februari 2016   17:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Satu dekade terakhir, Indonesia diberi insentif ekonomi akibat bonus demografi. Kita mengalami surplus pertumbuhan usia produktif kerja, yang telah memberikan insentif pertumbuhan bagi ekonomi nasional. Kondisi dimana, ketika ekonomi global dan regional Asia ditimpa krisis keuangan sejak 2008, Indonesia masih survive, karena pertumbuhan usia produktif, menopang konsumsi dalam negeri, yang menjadi sebab kenapa ekonomi kita masih bertahan, meski volatilitas yang masih tinggi sebagai sumber kerentanan ekonomi kita. Bonus demografi dengan pertumbuhan usia produktif itu, meng-engine pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan data Bapenas, pada tahun 2010, proporsi penduduk usia produktif adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031. Tetapi angka ketergantungan ini mulai naik kembali menjadi 47,3 persen pada tahun 2035.

Dus di Jepang sana, pemerintahnya tengah mengalami kegelisahan akut, akibat terjadi penyusutan usia produktif. Keengganan menikah dan berkeluarga serta memiliki anak, menjadi ancaman demografi bagi pemerintahan Jepang pada masa yang akan datang. Ada kekhawatiran, akan terjadi surplus lansia dan defisit usia produktif. Tentu, surplus lansia ini akan memberi efek pada tanggung jawab dan beban negara.

Pemerintah Jepang mengatakan, lebih dari satu orang di antara empat orang warga Jepang kini berusia 65 tahun atau lebih. Menurut data yang dirilis Pemerintah Jepang, populasi Jepang turun 0,17 persen atau 215.000 orang dari 127.083.000 penduduk per 1 Oktober tahun 2014. Jumlah tersebut sudah termasuk warga asing yang sudah lama tinggal di Jepang.

Sementara itu, jumlah warga Jepang yang berusia 65 tahun atau lebih meningkat dari 1,1 juta menjadi 33 juta. Jumlah warga yang lanjut usia sekarang melebihi jumlah mereka yang berusia 14 tahun atau lebih muda dengan perbandingan 2 : 1.

Pergeseran demografis tersebut merupakan kombinasi dari angka kelahiran yang rendah dan usia harapan hidup warga Jepang yang panjang. Populasi Jepang yang makin lanjut usia ini menimbulkan persoalan bagi Pemerintah Jepang atau para pembuat kebijakan yang dihadapkan pada tantangan menyusutnya warga Jepang usia produktif, sementara jumlah pensiunan terus meningkat. Salah satu faktor kenapa orang Jepang mengalami deficit usia produktif dan surplus lansia, karena mereka lebih memilih berkarir (kerja), dari pada berkeluarga dan memiliki keturunan.

Fenomena Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) adalah sebuah konstruksi sosial (yang dipaksakan). Membayangkan suatu keluarga LGBT, adalah suatu kegelisahan, seperti membayangkan masyarakat Jepang, yang tengah mengalami krisis demografi, ketika menganggap institusi keluarga tidak penting, dan berkeluarga cuma urusan hasrat biologis dan pengekangan kebebasan. Heteroseksual sebagai seks mainstream, ditafsirkan secara paksa sebagai dominasi gender tertentu terhadap identitas gender lainnya. Bablas!

Fenomena LGBT

Membayangkan demografi suatu negara dan masa depan ekonomi, adalah membayangkan kualitas generasi seperti apa yang dilahirkan. Secara kasatmata, LGBT adalah suatau fenomena, sekaligus kegelisahan, bila mana LGBT ini, akan mengonstruksi logika dan budaya generasi Indonesia, bahwa berkeluarga adalah semata-mata cara menginstitusikan urusan seks an sich.

Jepang, mengalami konstruksi budaya yang demikian, ketika kerja dan karir adalah segala-galanya. Masalah keluarga ditafsirkan pada urusan seks an sich, dimana Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat produksi alat bantu seks (orgasme) tertinggi di dunia dengan berbagai varian. Padahal, keluarga adalah sumber utama suatu masyarakat dikonstruksi. Mendidik generasi yang berkualitas dalam satu keluarga, adalah starting, bagi menciptakan sumber daya masa depan suatu bangsa. Selain itu, hubungan seks sejenis, sebagaimana yang terjadi pada mayoritas LGBT, rentan dengan penyakit menular seks.

LGBT Fitrah?

Para aktivis pegiat LGBT selalu beralasan, bahwa menjadi LGBT adalah kodrat; fitrah yang diberikan Tuhan, tapi kemudian bila kita telaah, apakah demikian? Secara genealogis, faktor-faktor yang bisa diwarisi dalam pola-pola hereditas, adalah aspek fenotipe dan genotipe.

Sementara sifat, tingkah laku adalah sifat bawaan parental yang mana itu berkaitan dengan pendidikan sejak dini oleh orang tua yang sifatnya temporal. Jadi tak ada hubungannya dengan fitrah. Fitrah biologisnya adalah memiliki organ genital layaknya sebagai seorang laki-laki dan perempuan; berikut memfungsikan organ genitalnya tersebut sebagaimana kodratnya.

Sementara sifat, tingkah laku adalah berkaitan dengan cara mendidik, membesarkan. Jadi berbeda antara fitrah; kodrat yang sifatnya permanen;Ilahi dan pembawaan kepribadian yang sifatnya sosial; temporal. Antara kodrat dan sosial, adalah dua aspek yang perbedaannya sudah jelas.  

Tarulah LGBT bisa berketurunan dengan penggunaan teknologi kedokteran seperti bayi tabung dan sejenisnya. Tapi lagi-lagi, usaha tersebut menafikan kodrat, di mana rekayasa vertilisasi sel sperma dan ovum melalui bayi tabung, adalah perspektif yang tetap meletakkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodrat biologisnya masing-masing.

Lalu, di mana substansi argumentasi, bahwa LGBT adalah sebuah fitrah; kodrat? Apakah pada dimensi biologi yang sifatnya permanen ? Atau pada dimensi sifat atau kepribadian yang temporal? Dari titik inilah, kemudian, LGBT sebagai fitrah atau hukum adikodrati itu menjadi sumir, lemah argumentasinya. Lalu kemudian, tak salah, bila LGBT ini oleh terminologi pemerintah, dikategorikan sebagai masalah sosial.

Tarulah LGBT bisa memiliki anak dengan bayi tabung, tapi apakah setiap LGBT, bisa melakukan hal tersebut dengan biaya ratusan juta? Bagaimana pendidikan dan karakter anak yang akan dibangun dalam keluarga tersebut? Seorang anak yang normal tetap membutuhkan sosok Ayah dan ibu sebagai figur sentral dalam keluarga. Lagi-lagi di titik inilah, kita khawatir, bila LGBT ini menjadi salah satu dari sekian masalah demografi.

Oleh karena itu, kita setuju, jika LGBT ini sebagai sebuah fakta sosial yang hak-haknya harus dilindungi negara tanpa diskriminasi, sembari negara berkewajiban mendidik, membina masalah sosial berkaitan dengannya.

Namun melegalkan LGBT sebagai suatu institusi keluarga sebagaimana normalnya orang berkeluarga, adalah suatu masalah dan tentu ancaman bagi masa depan demografi Indonesia, bila mana gejala LGBT ini menjadi suatu konstruksi sosial, sebagaimana krisis demografi Jepang saat ini. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun