Mohon tunggu...
Yakobus Asa
Yakobus Asa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Calon Imam, Kongregasi SSCC

Syarat untuk menjadi penulis ada tiga, yaitu: menulis, menulis, menulis – Kuntowijoyo. saat ini masih menempuh pendidikan di uiversitas sanata darma, kampus Teologi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cinta di SMA

9 November 2023   09:21 Diperbarui: 9 November 2023   09:43 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rina adalah sahabat karibku sewaktu SMA. Kami selalu bersama di sekolah. Dia termasuk siswa yang memiliki kemampuan intelektualnya bagus. Juara satu sudah menjadi kebiasaannya di kelas. Tidak jarang ia mendapatkan beasiswa dari kehebatannya. Bahkan uang sekolahnya selama enam semester dibebaskan oleh pemerintah. Aku selalu kalah ketika bersaing dengan dirinya. Namun aku tidak pernah merasa minder, karena bagiku juara bukanlah tujuan utamaku. Belajar di sekolah dan diskusi bersama menjadi metode yang cocok untuk mengembangkan diri dan intelektualku. Setelah mengenal Rina, sikapku berubah drastis. Aku mulai memiliki semangat belajar.

Masih tersimpan hangat dalam memoriku saat aku mengungkapkan cintaku padanya. Sore itu musim kemarau. Matahari memancarkan sinarnya dari ufuk barat. Sepoian angin yang menerpa tubuhku menciptakan keberanian dalam diriku. Kami duduk di sebuah taman kota. Suasana tampak sunyi. Di samping taman itu, terdapat tiga kursi kosong. Dia dan aku menempati keduanya. Karena sebagai teman lama, kami tidak saling sungkan satu sama lain.

"Kak, bawa air enggak ini?" Tanya Rina sambil menarik kursi di sampingnya.

"Bah! Kok tanya ke aku sih. Sebenarnya cewek itu yang bawa air minum, masa cowok sih?" Ledekku

"Enggak juga kales,, cowok pun bisa bawa air kok," balasnya

"Ya sudah. Keluari buku biar cepat selesai tugasnya," ucapku sambil menurunkan tas dari kedua bahuku.

Hari ini merupakan jadwal yang telah kurencanakan sebelumnya. Dan aku memiliki tujuan tertentu. Aku sudah lama menaruh rasa terhadapnya, namun susah mengungkapkannya. Meskipun dia adalah sahabat sejatiku, tetapi aku tidak mampu menahan cinta yang bergejolak dalam batinku hari demi hari.

Waktu dia sedang menulis, sesekali kumandang dia. Sorot matanya seindah sinar bulan. Seolah dapat menghempas gelapnya malam. Hingga aku pun kagum-kagum karenanya. Pandangan mataku terus tertuju kepadanya.

"Hei! Ngapain liatin aku?" Ucapnya tiba-tiba. Aku pun tidak sadar ketika ia mengangkat kepalanya. Aku tersipu malu karena tertangkap basah.

"Enggak kok, aku hanya lurusin kepala doang," ucapku beralasan. Sambil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Kembali kuraih buku di atas meja sambil membuka lembaran buku satu persatu.

"Rin! Aku mau bilang sesuatu," ucapku dengan nada serius. Kini pandanganku terus terarah pada matanya. Dia sepertinya merasakan sesuatu yang berbeda dari ucapanku

"Mau ngasitahu apa kak?" Ucapnya dengan nada yang serius.

Seketika suasana menjadi hening. Antara dia dan aku tercipta sekat kebisuan serta rasa yang mendalam. Aku hanya menunduk. Kali ini tanpa objek di tanganku. Aku hanya bengong melihat tanganku yang terletak di atas meja. Perlahan ia meraih buku sembari membaca. Kali ini dia tidak lagi menulis. Pikirku, mungkin hanya menatap buku itu dengan pandangan kosong.

"Rina, aku jujur ya. Aku 'suu...ka' sama kamu, bukan sebatas sahabat. Aku mau menjadi pacar kamu," kataku dengan jujur.

Setelah kalimat itu keluar dari bibirku, suasana menjadi hening. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Aku gelisah dibuatnya.

"Kak! Aku juga memiliki rasa yang sama. Aku juga cinta sama kamu," jawabnya sambil menatapku.

Yess! berhasil, batinku. Namun aku tidak bisa meloncat di hadapannya karena aku malu. Sebab dia adalah sahabatku sendiri. Setelah kuungkapkan isi hatiku, batinku terasa lega. Hari itu menjadi hari yang paling berharga yang tidak akan kulupakan seumur hidupku. Hari di mana cinta pertamaku bersemi. Kami pun melanjutkan belajar dengan hati gembira. Suka sama suka! Kami pun Kembali ke rumah. Seperti biasa, aku mengantarnya menggunakan sepeda motorku.

***

Hari, bulan, tahun silih berganti. Cinta kami semakin mendalam. Bahan kedua orang tua juga sudah mengetahui hubungan kami. Semua itu tampak dalam kemesraan yang kami rajut bersama sebagai persona kasih. Kini telah memasuki usia pacaran tiga tahun. Ujian Nasional telah usai. Masing-masing siswa memilih untuk melanjutkan kuliah sesuai minatnya sendiri. Aku memutuskan untuk kuliah di kampung sendiri. Sedangkan Rina belum ada kabar sama sekali tentang perencanaan kuliah.

Pagi ini aku mengajaknya bertemu di sebuah kedai kopi. Seperti biasa, aku menjemput di rumahnya. Bapa dan mamanya selalu mengizinkan dia kalau aku yang menjemputnya. Dia selalu bersedia kalau aku mengajaknya. Suasana tampak ramai dalam kedai itu. Kami sengaja mengambil tempat di bagian paling sudut dari kedai itu.

"Minum apa kamu?" Tanyaku seketika menempati kursi sembari meletekkan tas kami masing-masing.

"Aku teh hangat aja," jawabnya

"Aku teh hangat juga," balasku sembari menuliskan minuman yang kami pesan pada lembar kertas yang sudah di sediakan itu.

"Kamu sih ngikutin aku mulu," ledeknya.

"Enggak kok. Kan aku sika teh juga,"

"Ya sudah! Sana ngantairn pesanannya." Secepat kilat aku melangkah membawa serta kertas di tanganku. Rina tetap di tempat sambil menungguku.

"Rencananya kuliah di mana?" Ucapku to the point setelah kembali ke meja

"Kata bapaku, dia menyetujui usulanku untuk kuliah di Jogja," katanya.

"Ha! di Jogja? Jauh amat," tukasku.

Aku kaget bukan main setelah mendengar ucapannya akan kuliah di Jogja. Kami akan berpisah. Dunia akan segerah memisahkan cinta yang telah kami rajut bersama selama ini. Kenapa semesta setega ini? Batinku. Aku tak mampu menghalanginya, karena ini adalah pilihan bebas yang telah ia tentukan untuk masa depannya.

"Tapi aku janji, aku enggak bakalan macam-macam kok. Aku akan tetap setia pada cinta kita. Aku janji!" Janjinya dengan nada tegas. Matanya segerah mengalir air. Air mata yang menandakan sebuah perpisahan sekaligus penyesalan. Bagaimanapun, masa depan adalah hal esensial yang harus digapai oleh setiap pelajar.

***

Cintaku masih menunggu hingga kuliahnya selesai. Aku bahkan selalu menjauh dari perempuan yang mencoba mendekatiku, karena mereka tidak memiliki aura yang memesonai diriku. Rinalah salah satu tipeku. Penantianku kini terjawab. Setelah kudengar dari bapanya, Rina akan kembali hari ini. Menjelang siang, karena kabarnya akan tiba pukul 11. 00 AM, aku sudah menunggunya di bandara. Hatiku sangat gembira. Suasana di bandara sangat ramai, dipenuhi dengan turis yang berlalu-lalang. Aku hanya menunggunya di luar, tepatnya di halaman bandara. Aku sedang duduk sambil memperhatikan orang-orang yang keluar masuk bandara, tampak wanita yang sangat bagiku sembari menggandeng seorang lelaki. Aku kaget bukan main, dia adalah Rina yang pernah menjanjikan cinta kepadaku.

"Buseett!!" Teriakku pelan dengan nada kesal.

Diriku seperti terbakar rasanya ketika mataku melihatnya kemesraan mereka. Di manakah janji yang pernah ia ingkar itu? dalam perjalanan, terus kugumam kalimat itu dalam hatiku. Mulai saat itulah aku belajar, bahwa cinta tidak selamanya diikat oleh janji perkataan. Perkataan merangkai janji adalah palsu. Janji seutuhnya adalah tindakan bukan sekedar janji.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun