Seiring berjalannya waktu, tumbuh benih-benih cinta di antara kami. Aku hampir tidak bisa menahan diri terhadap gejolak cinta itu. Aku bahkan menerima saja ungkapan dan isi hati Wati. Mungkin ketertarikannya pada sosok afektif sekaligus karena identitas suci. Â Kami yang biasanya sapa menyapa melalui messanger, kini mulai ada pertemuan secara sembunyi-sembunyi. Kebetulan kami sebagai minoritas di daerah itu sehingga tidak ada orang yang tahu. Suatu ketika, bahkan kami berjanji untuk tinggal bersama. Kendati hal khayalan misterius yang tak akan muda dicapai.
Kini Wati telah menempuh pendidikan tinggi di kota tetangga. Kendati kami tinggal berjauhan tetapi kami tidak pernah terlewatkan sehari pun bertukar cerita di dalam chat WhatsApp.
Semakin dalam, semakin cinta, semakin keluar arah, rasanya hidupku diikat. Apalagi kongregasiku yang akan mencapai 100 tahun hadir di Indonesia. Aku bahkan terus terbayang pada sosok yang aku cintai itu setiap waktu. Aku terus mengalami keanehan ketika mewartakan firman. Sepertinya tidak ada kekuatan karena tidak sesuai dengan realitas diriku. Pikiran kotor, jorok dan berdosa terus menghantui diriku. Bagaimana mungkin aku hidup dalam dua dunia? Sebuah pertanyaan yang terus mengelilingi isi kepalaku. Ah rasanya cukup. Aku harus berani menghadap dan mengungkapkan secara langsung.
"Watt, besok aku ke yogya. Di tempat biasa ya." Chatku di WhatsApp
"Really?" Balasnya singkat.
"Iya..., aku mau katakan yang sejujurnya." Jawabku
"Kak, jangan-jangan...?" kendati kepo, aku tidak membalas chatinggannya. Tetapi Wati sudah menyadari sesuatu. Dan mungkin itu sudah pasti. Karena sudah tiga hari kami tidak saling memberi kabar. Dan hari ini aku hanya mengirim pesan dengan satu tujuan untuk memberitahukan pertemuan kami.
Siang itu aku tiba pukul 13.00 di jogya. saat aku memasuki taman tempat kami biasa berjumpa, Wati sudah duduk menunggu kedatanganku.
"Watt..." panggilku.
Wati membalikkan badannya tanpa mengucapkan sepata katapun. Dari raut wajahnya, menunjukkan kesedihan. Matanya memerah. Butir-butir air memenuhi kedua bola matanya. Aku hanya memandang. Beberapa detik setelah aku memperhatikannya, akhirnya aku duduk di sampingnya, kebetulan jenis kursinya bisa ditempati dua orang.
"Ka... aku tidak sanggup. Sungguh! Aku telah mendapatkan sandaran ternyaman yang pernah aku jumpai." Keluhnya.