"Entahlah, dia seperti menampakan sedikit kemajuan dan semoga itu akan membaik!" harapnya.
"Itu berita bagus!"
Liana memandangi sudut ranjang tempat William segera berbaring, bayangan orang tua itu yang sedang tersenyum padanya masih terlihat jelas di pelupuk matanya. Bahkan seisi ruangan itu di penuhi oleh bayangannya. Â
Bantu aku kek, bantu aku melepaskan semua ini. Jangan biarkan Rey menang di antara kami, aku mohon.....katakan apa yang harus aku lakukan!
Liana seperti mendengar suara William di saat terakhirnya, "kakek merindukan keceriaanmu, keceriaan yang pernah kau bawa ke rumah kami!"
Airmata Liana sudah hampir tak terbendung, tapi ia segera menghapusnya. Ia sudah berjanji pada Nicky untuk tidak menangis lagi di ruangan itu atau ia tidak akan bisaberada di kamar itu lagi.
Pintu kamar di ketuk seseorang dan terbuka, Liana menoleh. Jaya muncul di ambang pintu, "Nyonya, Ibu Sinta dan putranya ada di ruang tamu!" katanya. "oh, mereka sudah datang?" tanyanya, Jaya mengangguk. Liana segera berjalan keluar, keadaan kakinya membuatnya tak bisa bergerak cepat. Begitu Liana muncul, Johan segera berlari ke arahnya.
"Tante Liana.....!" serunya girang, Liana berjongkok menyambut pelukan bocah lelaki berusia 3,5 tahun itu. Tawa kecil keluar dari mulut Liana, "hai jagoan!" sapanya melepaskan pelukannya, "apa kabarmu?" tanyanya.
"Aku kangen sama tante, tapi mama dan papa bilang aku tidak boleh main-main dulu kemarin-kemarin!" adunya, Liana tersenyum, selain William memang bocah itulah yang mampu menciptakan senyum di wajahnya dulu.
"Maaf, kemarin tante tidak enak badan!"
Sinta mendekat, Liana bersiri dan merekapun berpelukan. "bagaimana keadaanmu?" tanya Sinta.