Jeff Zaleski mengatakan jika dewasa ini perkembangan informasi dan komunikasi telah mencapai tahap kemajuan yang sangat pesat. Baik dari dunia informasi maupun dunia komunikasi tentu bisa kita rasakan dampaknya, banyak dampak positif namun tidak sedikit pula dampak negatifnya, keadaan hari ini membuat orang-orang lebih aktif menjalankan aktivitas sehari-harinya di dunia maya dibanding dunia realita, mulai dari bisnis, jual beli online sampai e-commerce. Manusia yang dihalangi oleh berbagai keterbatasan, tetapi dengan adanya internet, ruang, jarak dan waktu menjadikan keterbatasan itu hilang. Menurut Kenichi Ohmae itulah dunia tanpa batas.Â
Fenomena kemajuan zaman tersebut juga ikut melahirkan kejahatan-kejahatan baru terkhususnya dalam dunia internet dengan apa yang disebut Cyber crime. Hal ini tentunya memaksa pemerintah untuk mengeluarkan peraturan perundang undangan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut, maka lahirlah undang-undang nomor 11 tahun 2008 yang telah direvisi menjadi undangundang nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik.
Undang-undang tersebut dibentuk dengan tujuan agar memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik dan hak-hak konsumen terlindungi.
Namun sejauh yang kita rasakan, UU ITE tersebut telah mengalami disposisi yang begitu besar dari tujuan awal pembentukanya, hari ini UU ITE tersebut malah dijadikan alat untuk memberangus suara-suara kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tidak hanya itu, UU ITE juga menjadi alat untuk mengkriminalisasi orang-orang yang dianggap berbahaya bagi pemerintah.
Tentunya, cukup prihatin melihat masalah itu terjadi. Sebagai negara demokrasi sudah sepatutnya pemerintah terbuka terhadap berbagai kritik yan muncul dari masyarakat demi terciptanya pemerintahan yang baik (Good governance).
Selain itu juga kebebasan berpendapat secara mutlak telah dilindungi oleh konstitusi tepatnya pada pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 dengan turunan nya yaitu pasal 22 ayat 3 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Sudah banyak orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah berakhir di jeruji besi karena UU ITE, masalah ini perlu menjadi perhatian lebih pemerintah agar indeks demokrasi di Indonesa tidak terus merosot. Pemerintah harus segera merevisi pasal-pasal karet atau pasal-pasal yang masih multitafsir pada UU ITE. Pemerintah juga harus sadar bahwasanya Chek and balance sangat diperlukan dalam sistem pemerintah demokrasi, hal itu agar kekuasaan tidak digunakan dengan semena-mena.
Disposisinya UU ITE
UU ITE dibentuk dengan tujuan yang baik, yaitu berkenaan dengan melindungi hak-hak konsumen dalam e-commerce, selain itu juga diproyeksikan untuk mencegah kejahatan internet (Cyber crime). Berkenaan dengan hal tersebut Thomas Hobbes dalam teori tatanan keamanannya memperingatkan kita bahwa setiap individu dengan individu yang lain itu saling membinasakan (homo homini lupus). Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi kemanan individu.Â
Ditengah individu yang saling memangsa hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Karena bagi Hobbes sebagai penganut meterialisme, manusia dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingan individunya. Maka jika kita refleksikan dengan teori tatanan keamananya  Thomas Hobbes tujuan dibentuknya UU ITE menjadi sangat tepat disamping lahirnya kejahatan-kejahatan baru terkhusus dalam dunia digital.
Namun tidak serta merta dengan tujuan tersebut pada tahap penerapanya pun akan sama. karena dalam setiap undang-undang selalu memiliki sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktik. Begitupun dengan UU ITE, pada tahap implementasi dilapangan jauh berbeda dengan tujuan awal pembentukanya. UU ITE telah mengalami disposi yang begitu besar, hari ini UU ITE dijadikan sebagai alat untuk merepresi orang-orang  yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.Â
Hal ini juga menjadi refresentasi arogansi penguasa dalam mempertahankan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam UU ITE terdapat dua pasal yang secara khusus mengatur mengenai kebebasan berpendapat dan juga pembatasan terhadap kebebasan berpendapat tersebut yaitu pada pasal 27 dan pasal 28. Kedua pasal tersebut membatasi secara khusus isi atau muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang diunggah. Walhasil, kedua pasal tersebut juga sering dijadikan "pasal karet" untuk menjerat orang-orang yang menyuarakan pendapatnya terhadap diskresi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Seharusnya, kedua pasal tersebut dimasukan kedalam UU ITE, karena mengenai pembatasan kebebasan berpendapat juga diatur dalam pasal 28 J ayat 2 UUD 1945. Selain itu juga diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tepatnya pada 310 KUHP secara khusus mengatur tentang larangan penistaan yang dilakukan dengan surat, kemudian pasal 311 juga melarang perbuatan fitnah, pasal 315 KUHP yang mengatur penghinaan ringan, pasal 317 KUHP mengatur tentang pengaduan fitnah, pasal 318 KUHP mengatur tentang perbuatan fitnah dan juga pasal 156 KUHP juga mengatur tentang larangan ujaran kebencian. Dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 dan juga beberapa pasal dalam KUHP maka sudah dirasa cukup akan memberikan kepastian hukum bahwa kebebasanberpendapat seluruh warga negara tetap dapat di implementasikan tanpa mencederai hak warga negara lainya.
Arogansi Penguasa dan Defisitnya Demokrasi
Sebagai negara demokrasi sudah sepatutnya memberikan ruang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk ikut berpartisipasi secara langsung dalam mengawasi jalanya pemerintah. Selain itu juga Indonesia adalah negara hukum, secara eksplisit termaktub dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Bagir manan berpandangan antara sistem demokrasi dan juga negara hukum memiliki kaitan yang sangat erat, demokrasi sebagai suatu sistem pengelolaan politik akan berpengaruh terhadap konsep negara hukum. Tanpa demokrasi, hukum akan semata-mata menjadi alat legitimasi penguasa. Sebaliknya, demokrasi tanpa hukum dapat berjalan kearah yang sewenang-wenang.
Selaras dengan apa yang dikatakan Bagir Manan, Miriam budiarjo juga mengatakan bahwa UUD 1945 menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai, dan yang dicantumkan dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 mengenai sistem pemerintahan negara yaitu:
1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat).
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Dengan adanya dua pendapat tokoh tersebut cukuplah memberikan bukti bahwa sebagai negara demokrasi dan juga negara hukum pemerintah harusnya bisa terbuka atas kritikan-kritikan yang dilayangkan. Karena pemerintah juga memiliki kekuasaan yang terbatas dan tidak absolute.Â
Tetapi dengan adanya berbagai fenomena yang disebabkan oleh UU ITE memberikan refresentasi arogansi penguasa terhadap berbagai pendapat kritis kepada kebijakan pemerintah. Secara otomatis, masalah tersebut juga menyebabkan defisitnya demokrasi, jangan sampai masalah ini juga kita akan kembali pada ekosistem orde baru yang otoriter. Pemerintah harus benar-benar bisa menjalankan hakikat demokrasi yang sebenarnya, bukan hanya sekedar sebatas slogan saja.
Revisi yang Tidak Jadi dan Terbitnya SKB Bukan Solusi
Terkait permasalahan UU ITE tersebut menyebabkan munculnya gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat untuk segera merevisi UU ITE dan juga menghapus pasal-pasal karet yang multitafsir dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Gelombang protes tersebut membuat Presiden Jokowi mengatakan akan segera merevisi UU ITE. Tetapi ternyata hal itu hanya romantisme kata semata dan julukan The king of lip service bukan omong kosong belaka, pernyataan tersebut hanya penenang untuk meredam gelombang protes yang terjadi.
Pada akhirnya, revisi itu tidak sama sekali terjadi, yang terjadi malah terbitnya surat keputusan bersama (SKB) antara Menkominfo, Kejaksaan dan juga Kapolri tentang pedoman implementasi undang-undang nomor 19 tahun 2016 perubahan kedua atas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.Â
Dalam sistem perundangan-undangan di Indonesia memang SKB ini memiliki ketentuan hukum, Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang pembuatan peraturan perundang-undangan tepatnya pada pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwasanya jenis peraturan selain dari hirarki perundang-undangan di Indonesia yang dibentuk oleh dewan perwakilan atau lembaga yang berada pada rumpun eksekutif, legislatif atau yudikatif itu masuk kedalam rumpun hirarki perundang-undangan.
Masalah yang terjadi pada SKB ini adalah bahwa SKB ini adalah bentuk produk hukum warisan orde baru yang tidak jelas, seharusnya hanya berbentuk putusan (Beschikking) tetapi substansinya lebih kepada peraturan (Regeling). Selain itu kekuatan hukum yang dimiliki tidak sekuat peraturan perundang-undangan yang masuk kedalam hirarki perundang-undangan Indonesia. SKB ini bukanlah solusi konkrit dari permasalahan yang ada, dan SKB ini menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi masalah yang disebabkan UU ITE ini.
Solusi Pemecahan Masalah
Solusi yang paling konkrit untuk menyelesaikan masalah ini adalah pemerintah harus segara merevisi UU ITE dan juga menghapus pasal-pasal karet dari undangundang ini, terlebih ketentuan yang mengatur tentang pembatasan kebebasan berpendapat telah sepnuhnya diatur oleh UUD 1945 dan juga kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). UU ITE harus dikembalikan kepada tujuan awal pembentukanya bukan diterapkan hanya untuk kepentingan semata.Pemerintah juga harus sadar bagaimana hidup dalam negara yang memiliki sistem demokrasi, pemerintah juga harus tau etika hidup dalam negara hukum, semata-mata semua kebijakan yang dikeluarkan didasarkan pada kepentingan rakyat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H