Seharusnya, kedua pasal tersebut dimasukan kedalam UU ITE, karena mengenai pembatasan kebebasan berpendapat juga diatur dalam pasal 28 J ayat 2 UUD 1945. Selain itu juga diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tepatnya pada 310 KUHP secara khusus mengatur tentang larangan penistaan yang dilakukan dengan surat, kemudian pasal 311 juga melarang perbuatan fitnah, pasal 315 KUHP yang mengatur penghinaan ringan, pasal 317 KUHP mengatur tentang pengaduan fitnah, pasal 318 KUHP mengatur tentang perbuatan fitnah dan juga pasal 156 KUHP juga mengatur tentang larangan ujaran kebencian. Dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 dan juga beberapa pasal dalam KUHP maka sudah dirasa cukup akan memberikan kepastian hukum bahwa kebebasanberpendapat seluruh warga negara tetap dapat di implementasikan tanpa mencederai hak warga negara lainya.
Arogansi Penguasa dan Defisitnya Demokrasi
Sebagai negara demokrasi sudah sepatutnya memberikan ruang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk ikut berpartisipasi secara langsung dalam mengawasi jalanya pemerintah. Selain itu juga Indonesia adalah negara hukum, secara eksplisit termaktub dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3. Bagir manan berpandangan antara sistem demokrasi dan juga negara hukum memiliki kaitan yang sangat erat, demokrasi sebagai suatu sistem pengelolaan politik akan berpengaruh terhadap konsep negara hukum. Tanpa demokrasi, hukum akan semata-mata menjadi alat legitimasi penguasa. Sebaliknya, demokrasi tanpa hukum dapat berjalan kearah yang sewenang-wenang.
Selaras dengan apa yang dikatakan Bagir Manan, Miriam budiarjo juga mengatakan bahwa UUD 1945 menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai, dan yang dicantumkan dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 mengenai sistem pemerintahan negara yaitu:
1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat).
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Dengan adanya dua pendapat tokoh tersebut cukuplah memberikan bukti bahwa sebagai negara demokrasi dan juga negara hukum pemerintah harusnya bisa terbuka atas kritikan-kritikan yang dilayangkan. Karena pemerintah juga memiliki kekuasaan yang terbatas dan tidak absolute.Â
Tetapi dengan adanya berbagai fenomena yang disebabkan oleh UU ITE memberikan refresentasi arogansi penguasa terhadap berbagai pendapat kritis kepada kebijakan pemerintah. Secara otomatis, masalah tersebut juga menyebabkan defisitnya demokrasi, jangan sampai masalah ini juga kita akan kembali pada ekosistem orde baru yang otoriter. Pemerintah harus benar-benar bisa menjalankan hakikat demokrasi yang sebenarnya, bukan hanya sekedar sebatas slogan saja.
Revisi yang Tidak Jadi dan Terbitnya SKB Bukan Solusi
Terkait permasalahan UU ITE tersebut menyebabkan munculnya gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat untuk segera merevisi UU ITE dan juga menghapus pasal-pasal karet yang multitafsir dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Gelombang protes tersebut membuat Presiden Jokowi mengatakan akan segera merevisi UU ITE. Tetapi ternyata hal itu hanya romantisme kata semata dan julukan The king of lip service bukan omong kosong belaka, pernyataan tersebut hanya penenang untuk meredam gelombang protes yang terjadi.
Pada akhirnya, revisi itu tidak sama sekali terjadi, yang terjadi malah terbitnya surat keputusan bersama (SKB) antara Menkominfo, Kejaksaan dan juga Kapolri tentang pedoman implementasi undang-undang nomor 19 tahun 2016 perubahan kedua atas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.Â
Dalam sistem perundangan-undangan di Indonesia memang SKB ini memiliki ketentuan hukum, Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang pembuatan peraturan perundang-undangan tepatnya pada pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwasanya jenis peraturan selain dari hirarki perundang-undangan di Indonesia yang dibentuk oleh dewan perwakilan atau lembaga yang berada pada rumpun eksekutif, legislatif atau yudikatif itu masuk kedalam rumpun hirarki perundang-undangan.