Ilustrasi - pergerakan saham (Shutterstock)
IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) pada akhir Desember 2014 yang berada di level 5.226,947 poin, dan per 28 Desember 2015 ditutup di level 4.557,355 poin, atau dalam setahun mengalami penurunan sebesar 12,81%.
Di media diberitakan bahwa pimpinan Bursa Efek Indonesia menjelaskan faktor penyebab turunnya IHSG dalam periode setahun terakhir, antara lain, karena, (a) kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) membuat investor asing mengalihkan sebagian dananya keluar dari instrumen portofolio di Indonesia yang ditandai dengan nilai jual bersih (net selling) dana investor asing di pasar modal domestik sebesar Rp 22,55 triliun, (b) melalui penjabaran data kinerja di beberapa bursa efek yang juga mengalami kinerja penurunan, seperti, Tren konsolidasi IHSG sejalan dengan bursa-bursa lain seperti Indeks Dow Jones Industrial Average Amerika Serikat (-1,65%), Indeks All Ordinaries Australia (-2,46%), Indeks PSE Filipina (-3,42%), Indeks FTSE 100 Inggris (-4,74%), Indeks FTSE BM KLCI Malaysia (-5,14%), Indeks BSE Sensex 30 India (-5,33%), Indeks Hang Seng Hongkong (-7,14%), Indeks SET Thailand (-14,14%) dan Indeks Strait Times Singapura (-14,56%), dengan demikian, penurunan IHSG dipandang hal biasa, sekalipun yang terburuk ketiga setelah Thailand dan Singapura.Â
Dalam uraian berikut ini, akan dijabarkan beberapa hal yang aneh, kelihatannya, banyak hal yang seyogianya menjadi penjelasan, anehnya tidak dilakukan, atau mungkin kelupaan.
Pertama, aneh bila peningkatan suku bunga di Amerika Serikat menjadi penyebab turunnya IHSG. Tidak sampai sebulan yang lalu, kita dengar bahwa peningkatan suku bunga AS disambut meriah pelaku pasar, karena kebijakan tersebut dipandang normal untuk memastikan kestabilan ekonomi AS dan berperan positif terhadap perekonomian dunia secara keseluruhan. Ketika diumumkan peningkatan suku bunga AS, hampir semua Indeks Harga Saham di seluruh dunia adalah positif. Alasan peningkatan suku bunga sebagai penyebab turunnya IHSG kelihatannya aneh.
Kedua, alasan bahwa dengan meningkatnya suku bunga di AS, modal dari berbagai negara akan kembali ke AS, dan modal dari pasar modal di Indonesia berpindah ke Amerika, pada gilirannya menjadi penjelasan mengapa IHSG turun. Penjelasan seperti ini juga aneh, dugaan seperti itu tidak terjadi, bahkan modal berubah arah dari Amerika yang sudah mencapai tingkat pendayagunaan penuh (full-employed) menuju wilayah yang compative advantage-nya masih tinggi.
Ketiga, keanehan yang ketiga, sedikit pun tidak disinggung penjelasan secara teoritis pasar modal, tentang hal yang fundamental yang terjadi ketika Indeks Harga Saham Gabungan turun. Seyogyanya, hal ini adalah hal utama yang menjadi penjelasan, dan anehnya tidak disinggung sama sekali.
Keempat, keanehan yang keempat, tidak disinggung sama sekali aspek risiko sebagai penjelasan, seyogyanya hal ini tidak luput sebagai penjelasan, anehnya hal yang penting ini tidak disinggung sama sekali.
Yang tidak disinggung Ketiga dan Keempat, secara sekilas akan diuraikan berikut ini. Untuk melengkapi aspek keanehan Ketiga, menggunakan teori harga saham yang menjelaskan bahwa harga saham hari ini adalah nilai kini (present value) dari nilai masa depan (future value) dari pada perusahaan yang menerbitkan saham tersebut.Â
Dalam hal saham gabungan, kaitannya dengan periode satu tahun, yaitu, harga tahun ini adalah nilai kini dari nilai masa depan seluruh saham yang secara keseluruhan berlokasi di Indonesia. Nilai masa depan turun yang ditandai dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi, pada gilirannya IHSG akan mengikuti pola yang sama. Intinya, penurunan IHSG cenderung lebih besar disebabkan karena ekspektasi pertumbuhan ekonomi ke depan cenderung menurun, dan masih belum pasti kapan terjadi tren pertumbuhan di atas 6 persen pada PDB (Produk Domestik Bruto).
Oleh karena itu, IHSG masih di bawah angka tertinggi pada sekitar 5500-an, dan bila tanpa perbaikan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, maka sulit kembali mencapai angka tertinggi tersebut. Nikkei, salah satu indeks harga saham di Jepang, pernah mencapai tertinggi hampir 38,000-an pada tahun 1990-an, namun sampai saat ini (2015) belum pernah mencapai angka tertinggi tersebut, karena pertumbuhan ekonomi dalam negeri Jepang telah melewati titik pertumbuhan optimal.Â