Pekan ke-26 EPL menjadi hari yang paling kelam bagi Chelsea. Bertandang ke Etihad Stadium, Manchester, Eden Hazard dan kawan-kawan dipermak habis-habisan oleh tuan rumah dengan skor telak 6-0! Padahal Sarri dan anak buahnya datang ke sana dengan optimisme tinggi, berbekal kemenangan 5-0 atas Huddersfield dan kemenangan 2-0 atas City kala menjamu mereka di Stamford Bridge, London.
Ini menjadi kekalahan tandang beruntun ketiga kalinya bagi Sarri. Pada pekan ke-24 lalu, Chelsea digebuk Bournemouth dengan skor telak 4-0 kala bersua di Vitality Stadium. Pada laga sebelumnya Arsenal menghajar Chelsea 2-0 kala bersua di Emirates Stadium. Penampilan Chelsea ini memang seperti roller coaster saja. Gagah ketika bermain di kandang (Stamford Bridge) untuk kemudian layu ketika bertanding di kandang lawan.
Kekalahan telak dari Manchester City kemarin itu membuat fans terhenyak. Mereka pun tersadar dari mimpi saat dibuai kemenangan telak 5-0 atas Huddersfield sebelumnya. Chelsea dalam keadaan bahaya. Kini Chelsea berada diposisi enam, padahal sebelumnya berada di posisi empat. Kini justru MU yang berada di posisi empat setelah berhasil... memecat pelatihnya!
Sarri sendiri mengaku gagal paham dengan fenomena kekalahan Chelsea ini. Menurutnya ia datang dengan membawa filosofi sepakbola yang mengandalkan dominasi penguasaan bola, yang akrab disebut dengan Sarri ball. Sarri berbalik menyalahkan anak asuhnya yang tidak menjalankan skema bermainnya. Padahal di awal musim, Sarri ball tersebut sukses membuat Chelsea tak terkalahkan.
"Target saya adalah memainkan gaya sepakbola saya, bukan mengubah ke gaya sepakbola lain karena untuk saat ini kami memainkan sepakbola lain" kata Sarri kepada Four Four Two untuk menyindir anak asuhnya.
Benarkah demikian? Pernyataan Sarri ini sangat menarik dicermati karena mirip-mirip dengan pernyataan timses sebelah yang selalu menerapkan standar ganda seperti Sarri ini. Kalau timnya menang, maka Sarri akan mengatakan bahwa timnya bermain sesuai dengan instruksinya. Tetapi sebaliknya kalau timnya kalah, maka Sarri mengatakan bahwa timnya bermain dengan gaya sepakbola lain...
***
Skema Sarri ball ala Sarri ini mengandalkan dominasi penguasaan bola lewat peran seorang playmaker dalam skema 4-3-3. Gaya Sarri ini memang berbeda dengan gaya sepakbola defensif Italia pada umumnya. Di Serie-A yang tempo permainannya lebih lambat, Sarri ball ini tentu saja terlihat atraktif. Inilah yang membuat Sarri kemudian jadi baper.
Kalau diibaratkan dengan kecepatan internet, Serie-A Italia ini bermain di 3G sedangkan Premiere League itu berada di jalur 4G! Jadi di EPLÂ Sarri ball ini sebenarnya terlihat biasa-biasa saja. Buktinya kala bersua Bournemouth, Chelsea kalah cepat sehingga digunduli dengan skor telak 4-0!
Awal musim ini Chelsea kemudian mendatangkan Jorginho dengan bandrol 50 juta Pound. Jorginho adalah gelandang tengah dan playmaker Napoli saat ditukangi Sarri. Sementara di Chelsea, Kante adalah pemilik sejati gelandang tengah yang juga merangkap sebagai gelandang bertahan itu.
Kante tidak ujuk-ujuk berada di posisi tersebut. Sebelumnya kante membawa Leicester City dan Chelsea menjuarai EPL. Kante juga membawa Prancis menjadi Juara Dunia 2018 dari posisi tersebut. Pemuda handsome yang humble ini juga adalah pemain terbaik EPL 2016-2017. Tetapi Sarri kemudian menggesernya ke kanan untuk memberi tempat kepada Jorginho.
Dalam skema Sarri ball, Jorginho menjadi pusat permainan dan menjadi penghubung antar lini lewat peran sebagai DLP (Deep-Lying Playmaker) DLP merupakan pivot yang berdiri di antara lini tengah dan belakang yang memiliki tugas mengalirkan bola. DLP menjadi pembagi bola dan pengatur irama permainan tim, termasuk juga sebagai perencana serangan balik cepat bagi timnya. Itulah sebabnya seorang DLP harus mempunyai visi yang baik dan pintar membaca permainan.
Peran Jorginho ini mirip seperti peran Andrea Pirlo ketika bermain di Milan atau Juve dulu. Akan tetapi sama seperti Jorginho, Pirlo bukanlah seorang gelandang bertahan sejati. Itulah sebabnya Pirlo butuh bantuan pengawal seperti Pogba atau Vidal saat ia bermain di Juve dulu. Karena pintar membaca permainan, DLP ini sering menghentikan serangan lewat intersep alih-alih lewat tekel yang bisa membahayakan kaki.
Namun penggunaan DLP ini mempunyai kekurangan juga. Ketika DLP tidak dalam performa baik, hal ini justru dapat merusak irama permainan tim. Permainan tim menjadi kacau karena tidak ada koordinasi antar lini. Selain itu, jika tim lawan menerapkan pressing ketat dan mampu menjaga sang DLP, maka tim dalam kesulitan besar, dan itulah yang terjadi dengan Chelsea kemarin itu.
Sama seperti Liverpool dengan gegenpressing-nya, Manchester City juga menerapkan skema pressing dan menyerang lewat skema tiki-taka sejak di lini pertahanan lawan sendiri. Kalau Chelsea mengandalkan seorang DLP (Jorginho) untuk perubahan transisi dari bertahan ke menyerang atau sebaliknya, maka Liverpool dan City mengandalkan trio penyerangnya untuk melakukan itu.
Akibatnya memang sangat dasyat, sebab transisi permainan itu justru sudah terjadi di area pertahanan lawan sendiri! Contohnya dapat kita lihat dalam gol ketiga City (gol kedua Aguero) yang bermula dari kesalahan Ross Barkley ketika membuang bola, dan langsung segera dieksekusi Aguero sebelum bola itu menyentuh rumput. Betapa cepatnya refleks Aguero dalam mengubah "mode transisinya" dari bertahan ke menyerang, karena saat itu bola sebenarnya dalam penguasaan pemain Chelsea!
Sejak awal trio Sterling, Aguero dan Bernardo Silva sudah langsung menekan kwartet bek Chelsea justru di area pertahanan Chelsea sendiri. Dan hasilnya pun langsung didapat seketika. Menit ke-4 Sterling langsung menjebol gawang Chelsea. Pressing ala City ini dilakukan secara kolektif dan terorganisir dengan melibatkan juga trio de Bruyne, Fernandinho dan Gundogan.
Akibatnya sepanjang laga Chelsea praktis tertekan. Selain itu Jorginho juga jarang mendapat bola karena de Bruyne dan Fernandinho selalu bergantian menjaganya. Kesal tidak mendapat bola, Jorginho kemudian berusaha untuk terus mencari atau merebut bola, dan gagal! City adalah salah satu tim terbaik di dunia dalam penguasaan bola lewat skema tiki-taka, dimana bola mengalir cepat berpindah dari kiri ke kanan bak alunan simfoni orkestra yang sangat enak dinikmati.
Ketika Jorginho tak mendapat bola, praktis trio Hazard, Pedro dan Higuain menjadi pengangguran. Apalagi trio penyerang ini tidak mampu (tidak mau) melakukan pressing ketat terhadap pemain-pemain City. Akhirnya laga menjadi berat sebelah! Jorginho yang berusaha mengejar bola justru meninggalkan lubang di tengah yang kemudian dieksplorasi dan dieksploitasi oleh de Bruyne, Gundogan dan Aguero.
Kante yang berusaha melapis sisi tengah kemudian juga meninggalkan lubang di sisi kanan pertahanan Chelsea. Sterling yang menggila dibantu bek sayap Oleg Zinchenko benar-benar menghabisi Chelsea dari sisi kanan mereka. Azpilicueta pun tak sanggup menjaga pergerakan Sterling yang terlibat dalam empat gol City itu.
Chelsea memang kalah segalanya dari City. Skor telak 6-0 itu adalah bukti dari tidak manjurnya skema rencana Sarri ketika berhadapan dengan City. Sarri terlena dengan kemenangan semu 2-0 atas City dulu, plus kemenangan telak 5-0 atas Huddersfield yang tidak mencerminkan kekuatan Chelsea yang sesungguhnya.
Mari kita flashback lagi laga Chelsea-City di Stanford Bridge (9/12/2018) dulu. Ketika itu kedua tim sama-sama menerapkan sistim pressing ketat secara kolektif yang membuat tidak banyak peluang yang bisa didapatkan oleh kedua tim. Namun City lebih mendominasi permainan dan percobaan tembakan. Sebuah gol Kante dari asis Hazard pada menit ke-45, bahkan merupakan percobaan pertama dari Chelsea!
 Gol kedua Chelsea lewat tandukan David Luiz pada menit ke-78, juga merupakan korner pertama yang didapat Chelsea, yang kemudian dieksekusi oleh Hazard. Sementara itu semua peluang yang didapat City menjadi percuma karena tidak berhasil menjadi gol. Tapi yang jelas ketika itu City bernasib sial saja. City bermain lebih baik tetapi mereka harus kalah karena Chelsea berhasil membuat dua gol.
Tapi itulah sepakbola. Bermain baik dan mengkreasi lebih banyak peluang tidak menjadi jaminan meraih kemenangan sebab ada faktor keberuntungan yang ikut menentukan hasil. Tapi seorang pemenang sejati tidak akan mengubah karakter permainan timnya hanya gegara "keberuntungan" semata. Pep adalah seorang pemenang, dan dia tidak pernah mau mengubah karakter menyerang timnya. Itu lah yang ditunjukkannya kepada Sarri dalam laga di Etihad Stadium kemarin.
Sebaliknya dengan Sarri. Ia pernah mengalahkan Pep, dan ia bermimpi akan mengalahkannya sekali lagi, di kandang Pep sendiri dengan cara yang sama pula! Sayang ia harus kecewa karena mendapati bahwa dirinya tidak lah sehebat yang disangkanya itu. Sakitnya tuh disini... sebab sejak semula para pengamat sepakbola sudah mempertanyakan posisi gelandang tengah yang dianggap krusial itu.
Ini saat yang tepat bagi Sarri untuk mengevaluasi Sarri ball-nya ini lagi. Awalnya penampilan Jorginho ini sangat memikat. Namun semakin hari penampilannya semakin mengecewakan. Jorginho gagal menjadi penghubung permainan Chelsea. Selain gagal menjadi otak permainan dia juga gagal menjadi perisai pertama pertahanan Chelsea ketika diserang. Alih-alih menjadi jenderal lapangan, Jorginho justru menjadi titik terlemah Chelsea!
Kini bola bukan ditangan Sarri lagi. Kini semuanya tergantung kepada sang majikan. Kalau ia masih berbelas hati, maka Sarri akan terus berada di Chelsea sampai musim panas nanti. Tetapi kalau ia tak sabar lagi, maka Sarri pasti ditendang secepatnya. Apalagi sekarang sedang trend pelatih interim yang prestasinya justru lebih moncer dari manajer sebelumnya. Ada Santiago Solari di Madrid. Ada Solksjaer di MU. Dan mungkin juga ada Zola atau Lampard di Chelsea, who knows...
Aditya Anggara
Referensi :
https://www.bola.net/inggris/sarri-bersikeras-tak-akan-ubah-gaya-main-chelsea-15d1d8-3.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H