Dua buah gol dari Sergio Aguero (menit ke-40) dan Leroy Sane (menit ke-72) memang berhasil menjungkalkan rekor tak terkalahkan Liverpool di Emirates Stadium, Manchester. Akan tetapi dua buah sapuan gemilang (ketika bola nyaris melewati garis gawang City) oleh mantan pemain belakang klub Everton, John Stones, membuatnya menjadi pahlawan sesungguhnya dari kemenangan Manchester City tersebut.
Insiden di mulut gawang City itu terjadi di menit ke-19 babak pertama. Bermula ketika sepakan keras Mane membentur tiang gawang City, dan langsung disapu Stones. Malangnya bola sapuan tersebut membentur kiper Ederson yang sudah terlanjur maju ke depan, membuat bola kembali memantul deras menuju gawang Ederson sendiri.
Sekali lagi Stones berlari untuk menyapu bola yang melingkar ke atas dan sepertinya sudah melewati garis batas gawang itu. Namun jam tangan wasit Anthony Taylor tidak berdengung walaupun gambar menunjukkan 99,9 persen bola berada di belakang garis! The Goal Decision System akhirnya datang untuk menyelamatkan City! Ternyata masih ada 1,12 sentimeter bagian bola yang belum melewati garis...
"1,12 sentimeter" tersebut kemudian menjadi pembeda hasil pertandingan bergengsi diantara dua kandidat kuat juara EPL 2018-2019 ini. "1,12 sentimeter" tersebut kemudian membuat jarak diantara keduanya semakin dekat, yakni 4 poin saja sehingga keseruan EPL tetap terjaga.
Sekiranya teknologi VAR (Video Assistant Referee) belum ditemukan, maka insiden dimulut gawang City tersebut akan berbuah gol bagi Liverpool, yang bisa saja akan menjadi gol pembuka untuk gol-gol berikutnya bagi Liverpool yang berbuah kekalahan bagi The Citizens.
Dalam berbagai kasus sebelumnya, VAR selalu menolong tim yang melakukan penyerangan. Apakah itu untuk mensahkan sebuah gol, maupun memberikan hadiah penalti. Namun kali ini VAR menolong tim yang diserang dengan menganulir bola yang secara kasat mata sudah melewati garis gawang itu.
Dalam hal inilah kita mengakui manfaat dari keberadaan VAR ini. Akan tetapi idealnya setiap instrumen pengkuran itu harus selalu dikalibrasi secara berkala agar tetap akurat. Namun kita jangan juga lupa kalau kontrol VAR ini tetap berada ditangan manusia. Bagi anda yang pernah di zaman kemarin naik taksi dengan "argo kuda" pasti paham maksud saya...
Kedua pelatih (Pep lewat tiki-taka dan Klopp lewat gegenpressing) adalah tipikal pelatih berkarakter menyerang. Namun dalam perjalanannya (terutama Klopp pada musim ini) sudah mulai "menghargai" pragmatisme dalam sepak bola. Itulah sebabnya gol pembuka ini sangat krusial bagi kedua pelatih.
Sebelum pertandingan dimulai, City tertinggal 7 poin dari Liverpool. Sekiranya City kalah dari Liverpool maka gap akan berubah menjadi 10 poin, dan rasanya akan semakin mustahil untuk menggapai gelar juara di akhir musim. Sebaliknya kalau City bisa menang maka gap akan menjadi 4 poin saja sehingga peluang untuk meraih gelar juara tetap terbuka.
Demikian juga halnya bagi Jurgen Klopp. The Reds sedang on-fire. Walaupun bertandang ke Etihad Stadium, Klopp ingin merebut 3 poin dari City untuk membuat gap menjadi 10 poin. Hal ini sangat penting karena Liverpool akan sibuk dengan jadwal padat EPL termasuk laga di Liga Champion nantinya.
Sejatinya Klopp tidak terlalu bernafsu untuk menyamai rekor Arsenal dulu sebagai tim unbeatable semusim di EPL, karena hal itu nyaris tidak mungkin lagi bisa diraih pada saat ini. Apalagi Klopp juga sangat bernafsu untuk meraih gelar juara Liga Champion pertama baginya, yang tahun lalu itu sudah nyaris diraihnya.
Jadi target ambisius Klopp adalah meraih dua gelar, Champion dan EPL. Tabungan 10 poin itu tentu saja sangat berguna untuk mengatur prioritas kala Liverpool harus bertemu tim kuat di EPL maupun di Liga Champion dalam waktu yang berdekatan. Dalam hal ini tentu saja prioritas Klopp adalah Liga Champion. Kalaupun sekiranya nantinya Liverpool paceklik poin di laga EPL, "swasembada" 10 gol tadi tentu sangat berguna untuk mengatur jarak dengan tim-tim saingan.
Jalannya pertandingan sendiri berjalan seimbang. Berdasarkan statistik ESPN, Liverpool unggul tipis penguasaan bola atas City dengan 51 persen berbanding 49 persen. Sepanjang laga Liverpool melepaskan 5 tembakan tepat sasaran dengan menghasilan sebuah gol. Sedangkan City melepaskan 4 tembakan tepat sasaran dengan menghasilan 2 buah gol.
Selain peran John Stones, tiang gawang juga menjadi pembeda hasil pertandingan. Dalam kasus pertama, bola hasil tendangan keras Sadio Mane mengenai tiang gawang City. Tetapi arah bola keluar, dan langsung disapu oleh John Stones. Sebaliknya dalam kasus kedua, bola hasil tendangan keras Leroy Sane mengenai tiang gawang Liverpool. Tetapi arah bola langsung masuk kedalam gawang, dan akhirnya menjadi penentu kemenangan Manchester City!
***
Bola itu memang bunder, demikianlah adanya. Bagi saya pribadi inilah dua tim terbaik di EPL. Walaupun seorang fans Liverpool, saya merasa City lebih baik secara tim karena memiliki keseimbangan di semua lini termasuk kedalaman skuat.
Ketika City menderita 3 kekalahan dari 4 pertandingan yang membuat mereka kemudian tertinggal 7 poin dari Liverpool, itu bukanlah pertanda mereka itu melemah, tetapi karena mereka apes saja.
Sebaliknya dengan Liverpool. Secara penampilan, ini bukanlah musim terbaik Liverpool. Musim lalu penampilan trio Firmansah (Firmino, Mane dan Salah) jauh lebih memukau. Kunci permainan Liverpool sebenarnya ada di lini tengah yang mampu mengalirkan bola ke depan, dan sekaligus juga meredam serangan lawan. Akan tetapi lini belakang mereka sangat buruk. Coba kita buka statistik permainan Liverpool musim lalu dengan musim ini.
Musim lalu ketika menghadapi Leicester City di King Power Stadium pada ajang Carabao Cup, penguasaan bola Liverpool mencapai 70 persen. Melepaskan 21 tembakan, tetapi hanya 3 yang on target dan nihil gol. Sebaliknya dengan The Foxes yang melepaskan 8 tembakan dengan 5 on target dan berbuah 2 gol! Ketika kemudian bermain menghadapi Burnley di Anfield, Liverpool tampil menggila dengan melepaskan 35 tembakan tapi hanya 7 on target dan berbuah sebiji gol!
Musim ini penampilan Liverpool "sangat bersahaja" namun selalu menang. Misalnya pada laga pekan ke-13 (Sabtu 24/11/2018) kala bertandang ke markas Watford. Liverpool bermain menjemukan (terutama pada babak pertama) namun pada akhirnya berhasil merebut 3 angka dari tuan rumah berkat 3 gol telat dari Salah, Arnold dan Firmino.
Sektor belakang kini menjadi kunci utama kekuatan Liverpool. Bukan saja karena kedatangan Alisson dan van Dijk, tetapi juga karena kehebatan "pemain lokal" seperti Trent Alex-Arnold, Andrew Robertson dan bek serba bisa, Jo Gomez. Ketiga anak muda ini harganya sudah melonjak berkali lipat, dan kini dihargai setara dengan van Dijk! Bek kanan utama (juga pemain timnas Inggris) Nathaniel Clyne pun harus tersingkir ke Bournemouth karena kalah bersaing dengan mereka ini.
Mungkin inilah kesialan pertama Liverpool pada musim ini yang bermain baik namun akhirnya kalah. Musim lalu mereka sering bermain baik untuk akhirnya kalah juga. Bagi City ini mungkin laga keberuntungan pertama bagi mereka. Bermain baik menghadapi seteru yang juga bermain baik, pertandingan seharusnya berakhir seri, tetapi mereka kemudian mendapat hadiah 3 poin di tahun baru ini.
Disetengah musim ini City selalu bermain baik walaupun tidak di semua pertandingan mereka bermain istimewa. Namun musim ini sudah tiga kali mereka bernasib sial ketika kalah dari Chelsea (pekan ke-16) Crystal Palace (pekan ke-18) dan Leicester City (pekan ke-19) walaupun mereka mendominasi pertandingan.
Yah itulah namanya sepakbola zaman now yang hasilnya tidak melulu memakai rumus matematika. Tetapi apapun itu (insiden, tragedi, misteri ataupun kesialan) membuat pertandingan EPL menjadi semakin menarik untuk dinikmati, melebihi kompetisi di banyak tempat lain dimana juaranya sudah diketahui bahkan ketika kompetisinya belum lagi dimulai...
Salam sepakbola, YNWA
Aditya Anggara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H