Sejatinya Klopp tidak terlalu bernafsu untuk menyamai rekor Arsenal dulu sebagai tim unbeatable semusim di EPL, karena hal itu nyaris tidak mungkin lagi bisa diraih pada saat ini. Apalagi Klopp juga sangat bernafsu untuk meraih gelar juara Liga Champion pertama baginya, yang tahun lalu itu sudah nyaris diraihnya.
Jadi target ambisius Klopp adalah meraih dua gelar, Champion dan EPL. Tabungan 10 poin itu tentu saja sangat berguna untuk mengatur prioritas kala Liverpool harus bertemu tim kuat di EPL maupun di Liga Champion dalam waktu yang berdekatan. Dalam hal ini tentu saja prioritas Klopp adalah Liga Champion. Kalaupun sekiranya nantinya Liverpool paceklik poin di laga EPL, "swasembada" 10 gol tadi tentu sangat berguna untuk mengatur jarak dengan tim-tim saingan.
Jalannya pertandingan sendiri berjalan seimbang. Berdasarkan statistik ESPN, Liverpool unggul tipis penguasaan bola atas City dengan 51 persen berbanding 49 persen. Sepanjang laga Liverpool melepaskan 5 tembakan tepat sasaran dengan menghasilan sebuah gol. Sedangkan City melepaskan 4 tembakan tepat sasaran dengan menghasilan 2 buah gol.
Selain peran John Stones, tiang gawang juga menjadi pembeda hasil pertandingan. Dalam kasus pertama, bola hasil tendangan keras Sadio Mane mengenai tiang gawang City. Tetapi arah bola keluar, dan langsung disapu oleh John Stones. Sebaliknya dalam kasus kedua, bola hasil tendangan keras Leroy Sane mengenai tiang gawang Liverpool. Tetapi arah bola langsung masuk kedalam gawang, dan akhirnya menjadi penentu kemenangan Manchester City!
***
Bola itu memang bunder, demikianlah adanya. Bagi saya pribadi inilah dua tim terbaik di EPL. Walaupun seorang fans Liverpool, saya merasa City lebih baik secara tim karena memiliki keseimbangan di semua lini termasuk kedalaman skuat.
Ketika City menderita 3 kekalahan dari 4 pertandingan yang membuat mereka kemudian tertinggal 7 poin dari Liverpool, itu bukanlah pertanda mereka itu melemah, tetapi karena mereka apes saja.
Sebaliknya dengan Liverpool. Secara penampilan, ini bukanlah musim terbaik Liverpool. Musim lalu penampilan trio Firmansah (Firmino, Mane dan Salah) jauh lebih memukau. Kunci permainan Liverpool sebenarnya ada di lini tengah yang mampu mengalirkan bola ke depan, dan sekaligus juga meredam serangan lawan. Akan tetapi lini belakang mereka sangat buruk. Coba kita buka statistik permainan Liverpool musim lalu dengan musim ini.
Musim lalu ketika menghadapi Leicester City di King Power Stadium pada ajang Carabao Cup, penguasaan bola Liverpool mencapai 70 persen. Melepaskan 21 tembakan, tetapi hanya 3 yang on target dan nihil gol. Sebaliknya dengan The Foxes yang melepaskan 8 tembakan dengan 5 on target dan berbuah 2 gol! Ketika kemudian bermain menghadapi Burnley di Anfield, Liverpool tampil menggila dengan melepaskan 35 tembakan tapi hanya 7 on target dan berbuah sebiji gol!
Musim ini penampilan Liverpool "sangat bersahaja" namun selalu menang. Misalnya pada laga pekan ke-13 (Sabtu 24/11/2018) kala bertandang ke markas Watford. Liverpool bermain menjemukan (terutama pada babak pertama) namun pada akhirnya berhasil merebut 3 angka dari tuan rumah berkat 3 gol telat dari Salah, Arnold dan Firmino.
Sektor belakang kini menjadi kunci utama kekuatan Liverpool. Bukan saja karena kedatangan Alisson dan van Dijk, tetapi juga karena kehebatan "pemain lokal" seperti Trent Alex-Arnold, Andrew Robertson dan bek serba bisa, Jo Gomez. Ketiga anak muda ini harganya sudah melonjak berkali lipat, dan kini dihargai setara dengan van Dijk! Bek kanan utama (juga pemain timnas Inggris) Nathaniel Clyne pun harus tersingkir ke Bournemouth karena kalah bersaing dengan mereka ini.