Akhirnya reuni 212 yang berlangsung di Silang Monas pada minggu kemarin berjalan dengan mulus. Memang ada sedikit distorsi mengenai tujuan dan jumlah peserta yang hadir. Menurut panitia pelaksana dan warga yang ikut, reuni 212 ini adalah aksi damai yang terlepas dari kepentingan politik.
Namun kehadiran Capres nomor dua, Prabowo Subianto dengan kroninya itu secara langsung kemudian membuat tujuan semula dari aksi ini menjadi bias. Apalagi (jangan sampai lupa) kalau tujuan semula dari aksi ini untuk pertama kalinya dulu itu adalah untuk memenjarakan sipenista agama, Ahok, dengan tujuan agar yang bersangkutan gagal untuk mengikuti kontestasi Pilgub DKI 2017.
Jadi tujuan semula dari aksi ini adalah aksi politik! Jangan lupa pula kalau dalam aksi sebelumnya (aksi 411-2016) aksi politik ini "ketahuan belangnya." Ternyata "Balai Kota" hanya sasaran antara saja, sebab aksi itu kemudian berakhir chaos di Istana Negara! Pekikan "Penjarakan sipenista agama" dari pagi hingga sore hari, kemudian berujung, "Turunkan Jokowi ketika menjelang maghrib, pada saat jam untuk berdemo seharusnya sudah usai!"
Apalagi ketika itu presiden Jokowi tidak berada di Istana Negara. Para pendemo yang diwakili kaum ulama itu pun hanya bisa bertemu dengan Pak JK. Konon pernyataan kontroversial ustad Bahar bin Smith, maupun orang-orang lainnya mengenai "kebancian Pakde" berimbas dari aksi di depan Istana Negara pada 411 2016 lalu itu.
Jadi melihat reuni loro-siji-loro 2018 ini terlepas dari aksi politik 411-212 tahun 2016 lalu itu, tampaknya menjadi sebuah hil yang mustahal! Aksi politik ini semakin jelas terlihat ketika Prabowo kemudian tantrum mengenai soal jumlah peserta yang hadir. Menurut Prabowo sendiri ada wartawan nakal yang mengabarkan kalau jumlah peserta aksi 212 ini hanya puluhan ribu saja. Padahal jumlah yang hadir menurut beliau ada sebelas juta jiwa....
Sebagai informasi, penduduk DKI Jakarta (Data BPS DKI Jakarta tahun 2015) berjumlah 10.177.924 jiwa yang terdiri dari 5.115.357 jiwa laki-laki dan 5.062.567 jiwa perempuan. Sedangkan banci maupun penduduk berkelamin ganda tidak diketahui datanya secara pasti. (mungkin hanya ustad Bahar bin Smith saja yang tahu...)
Jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa itu menghuni luas wilayah seluas 661,5 km2. Kalau sekiranya luas area yang dipakai untuk reuni 212 kemarin (Silang Monas dan sekitarnya) itu seluas 6.61 km2 (1% dari luas seluruh wilayah DKI Jakarta) maka bisa dipastikan kita bukan hanya akan melihat "deretan rumah lapis saja, tetapi juga deretan orang berlapis keatas!"
Berbicara tentang demo pastilah berbicara tentang kepentingan. Tapi ya itu tadi, kita tidak ingin membicarakan kepentingan "orang-orang penting" yang sudah terlalu banyak dibahas oleh media, akan tetapi kita akan membahas kepentingan orang-orang yang sok penting atau orang-orang yang takut "dianggap tidak penting" dan apa yang mereka cari sebenarnya?
Karena mereka ini bukan orang penting, jelaslah kepentingan mereka juga tidak terlalu penting! Mereka juga bukanlah "Buruh demo" yang menerima upah, atau pihak yang secara langsung dirugikan. Mereka juga bahkan harus mengeluarkan sendiri biaya transpor dan makanan untuk mengikuti demo ini. Kisah mereka ini memang jarang dibahas para jurnalis, mungkin ya itu tadi, karena mereka ini bukan orang penting!
Mari kita telisik apa saja yang dicari oleh mereka ini.
1. Pelepasan ketegangan.
Bagi orang yang status sosialnya biasa-biasa saja, mereka ini sering dalam posisi serba salah. Jangankan perhatian, empati saja susah didapat dari orang lain. Contoh misalnya ketika ada "orang biasa" berada di ATM agak lamaan, maka orang yang antri dibelakangnya pasti akan ngedumel tanpa basa-basi. Kalau yang di ATM itu seorang artis, apalagi yang cakep, pasti yang antri malah cengengesan...
Cobalah kalau misalnya seorang "orang biasa" suaranya rada kenceng dikit ketika bertelefonan diruang publik, pasti warga disekitarnya tidak akan ragu untuk memelototinnya. "Orang biasa" itu hidup dalam tekanan dan tidak diperbolehkan untuk mengekspresikan kekesalan hatinya didepan umum. "Tau diri dong, jangan sok belagu!" itu adalah kalimat yang sering diucapkan kepada orang biasa.
Jadi dengan mengikuti demo seperti ini, "orang biasa" itu bisa melepaskan tekanan emosionalnya dengan berteriak, menjerit bahkan memaki dimuka umum tanpa perlu merasa malu atau mendapat kecaman dari orang lain.
2. Aktualisasi diri
Dalam kondisi normal, bagi orang yang terlahir dengan tampang, nalar, skill maupun status sosial biasa-biasa saja, hampir mustahil untuk "mendapat panggung" bagi keperluan aktualisasi dirinya. Melalui demo ini, seseorang dapat mengutarakan buah pikiran, gagasan, kekecewaan hati bahkan umpatan kepada seseorang tanpa rasa takut! Kalau beruntung, dia mungkin saja akan mendapat aplaus dari orang-orang disekitarnya.
Demo juga menjadi sarana latihan bagi seorang anak muda untuk menjadi seorang pemimpin suatu organisasi massa kelak. Banyak pejabat dan tokoh-tokoh penting di negara ini yang perjalanan karirnya dimulai dengan berorasi dijalanan. Yang paling fenomenal, tentulah para Angkatan 66 seperti Akbar Tanjung dan kawan-kawannya itu misalnya.
3. Mencari Ketenaran
Melalui demo ini, seorang "Bonek" dari kalangan biasa, bisa saja mendadak tenar dan menjadi superstar dadakan. Kalau lagi hoki dan bernasib mujur, bisa saja dia diwawancarai media dan wajahnya kemudian masuk tivi. Bagaimana kalau yang mewawancarai itu adalah CNN, BBC atau Al Jazeera misalnya. Kalau sudah begitu, bolelah bermimpi untuk ditawari casting main sinetron pada tivi lokal...
4. Mencari teman atau jodoh
Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa disetiap perhelatan akbar yang melibatkan banyak orang, terbuka peluang untuk menarik perhatian lawan jenis dan akhirnya mendapat jodoh. Tentulah tidak sulit menemukan lawan jenis di mall, karaoke, diskotik atau tempat nongkrong yang bertaburan di Jakarta. Akan tetapi kalau ketemu jodoh di arena 212, duh sensasinya... Serasa dijodohkan dari atas...
****
Pada akhirnya demo telah dimulai. Tujuan demo adalah menyampaikan aspirasi dan pendapat dimuka umum. Agar tujuannya berhasil, tentulah membutuhkan persiapan fisik dan mental yang mantap pula agar terhindar dari segala kesusahan. Usahakan jangan memakai gaya dan topik yang mainstream, tapi buatlah sedikit berbeda dengan gaya yang mempesona...
Fokuslah pada diri anda sendiri bukan pada Ahok atau Jokowi! Orator lain harus memaki Ahok dulu agar mendapat perhatian publik. Karena semua orator begitu, akhirnya publik hanya mengingat Ahok dan melupakan semua orator itu! Kalau metode orasi anda sama saja dengan mereka, maka anda akan terlupakan juga....
Jangan lupa membawa perbekalan dan pakaian cadangan. Cuaca panas dengan kelembaman udara yang tinggi ditengah kerumunan massa yang begitu banyak tentulah akan membuat pakaian cepat basah. Sebaiknya pedemo memakai diapers (popok) bagi orang dewasa supaya tidak susah kalau kebelet pipis. Bawa juga diapers cadangan plus kantong plastik untuk tempat sampah.
Akhirnya harap jeli melihat nasi bungkus. Kalau karet ijo, berarti daging rendang atau ayam goreng. Karet kuning, artinya Teri jengkol. Karet merah artinya Telur plus sayur nangka. Yang karet ijo biasanya jumlahnya lebih sedikit. Jadi disini berlaku semboyan, "siapa cepat dia dapat"
Kalau jumlah karetnya lebih dari dua, misalnya tiga, mohon jangan diterima saja. Besar kemungkinan yang memberikannya tidak ikhlas....
Aditya Anggara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H