Mohon tunggu...
Aditya Anggara
Aditya Anggara Mohon Tunggu... Belajar lewat menulis...

Bio

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Piye Kabare Penak Zamanku To"

24 November 2018   14:27 Diperbarui: 24 November 2018   14:51 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto, sumber : Tribunnews.com

Akhir-akhir ini jargon Piye kabare penak zamanku to kembali merebak seiring dengan lahirnya sebuah partai baru yang juga diisi oleh keluarga pelantun jargon di atas tadi. Romantisme masa lalu yang semuanya serba enak dan swasembada beras menjadi salah satu produk unggulan dari politisi partai ini.

Romantisme masa lalu ini ibarat mengunggah kenangan lama ketika kita pertama kali berciuman. First kiss never fade... kata orang Boyolali. Entah lah apakah orang masih mengatakan hal yang sama ketika yang pertama itu sudah berada di sisinya selama 50 atau 60 tahun...

Atau anggaplah anda sekarang berusia 75 tahun. Apakah anda bisa mengulang atmosfir first kiss never fade itu kembali? Tentu saja itu sebuah hil yang mustahal bukan? Sebab tekstur dan kekenyalan bibir anda sudah berubah banyak! Belum lagi lidah, rahang dan gigi (yang tidak lengkap lagi...) yang so pasti akan mengurangi sensasi French kiss tadi...

Jadi pesona first kiss never fade itu cukup anda keep in your heart not in your mind, agar hidup ini bisa berjalan dengan baik, aman dan terkendali.

Romantisme masa lalu ini juga ibarat memberikan es krim kepada anak yang sedang flu dengan amandel yang bengkak! Es krim itu pastilah sangat enak, tetapi kemudian berubah menjadi petaka bagi sianak tadi.

***

Dulu sekitar tahun 80-an, kita memang pernah swasembada beras. Tapi disini kita harus berhati-hati, sebab banyak yang tidak aware dengan parameter yang dipakai sebagai acuan.

Ada tiga hal yang saya pakai sebagai acuan dalam menentukan keberhasilan swasembada beras ini. Pertama, Regim kebijakan pemerintah. Kedua, Jumlah penduduk. Ketiga, Luas lahan pertanian.

Pertama, Regim kebijakan pemerintah

Pada zaman otoriter Soeharto, swasembada beras memang menjadi target utama. Walaupun tidak memakan beras, tetapi pemerintah Hindia Belanda jauh sebelumnya sudah membangun jaringan irigasi dengan sangat baik. Soeharto kemudian jor-joran berutang miliaran dollar untuk membangun waduk, bendungan dan jaringan irigasi. Tentu saja proyek tersebut sarat dengan KKN dan mark-up biaya. Hutang dulu itulah yang membebani saat ini

Agar bisa sukses, program pertanian dan penyuluhan terpadu lalu diterapkan. Termasuk juga membentuk kelompencapir, yang sering terlihat di televisi melakukan dialog dengan Soeharto ketika itu. Kalau sekarang orang menyebutnya pencitraan. Tapi kalau dulu orang waras tidak akan berani menyebut begitu.

Varietas padi dan musim tanam dilakukan serempak. Tidak seperti sekarang dimana petani bisa sesukanya untuk menanam apa saja, termasuk membiarkan lahannya kosong sama sekali atas nama hak azasi manusia. Kalau dulu ada petani berani berbuat begitu, maka sekonyong-konyong dia akan segera menghilang dari peredaran.

Pada zaman Soeharto, hak azasi manusia belum begitu dikenal. Dulu petani tidak bisa berbuat sesukanya di sawahnya sendiri. Semuanya diatur dengan seksama. Mulai dari benih, penyemaian, pemakaian air hingga panen diatur sedemikian rupa. Hal ini memang sangat baik untuk memaksimalkan hasil panen, dan sekaligus juga memutus rantai hama seperti wereng, tikus dan sebagainya.

Salah satu kunci pokok untuk swasembada memang pada regim kebijakan ini. pemerintah membuat program, dan petani wajib melaksanakannya. Memang terkesan otoriter, tetapi tanpa "disiplin" hasil tidak akan pernah maksimal!

Kedua, Jumlah penduduk

Pada tahun 1970 jumlah penduduk RI masih 119 juta jiwa, dan pada tahun 1980 berkisar 147 juta jiwa. Pada tahun 2018 jumlahnya menjadi 265 juta jiwa. Artinya jumlah pemakan beras bertambah hampir dua kali lipat selama 30 tahun terakhir ini!

Zaman susah dulu masih banyak orang yang makan gaplek, singkong atau jagung. Untuk menghemat beras, orang pakai stagen di pinggang. Jadi makan dikit aja perut sudah kenyang. Kini zaman sudah berubah dimana penduduk banyak mengidap diabetes, jantung, hipertensi dan sebagainya karena terlalu banyak makan dan pola hidup tidak sehat. Ide stagen ini sepertinya cocok diterapkan lagi untuk mengurangi besar lingkar pinggang.

Dengan jumlah penduduk yang sudah bertambah seratusan juta jiwa sejak era swasembada pertama, plus pola hidup hedonis yang sangat konsumtif dari masyarakat, maka teranglah bahwa untuk mencapai swasembada beras seperti dulu lagi itu bukanlah pekerjaan yang mudah.

Ketiga, Luas lahan pertanian

Pada zaman kanak-kanak masih suka jajan getuk lindri dan belum mengenal dunkin donut atau big mac, kalau kita naik kereta dari Anyer hingga Panarukan, maka sepanjang mata memandang tampaklah hamparan sawah menghijau bak permadani yang tergelar dari nirwana hingga ke perut bumi...

Era globalisasi kemudian datang. Pembangunan pabrik, perumahan, infrastruktur termasuk transportasi yang sangat masif kemudian menghilangkan areal sawah hijau tadi. Ini memang sebuah fenomena yang tidak mungkin bisa dihindari. Persis seperti usia yang terus bertambah sekalipun kita melakukan face-lift di wajah untuk membuatnya terlihat muda (jadi teringat RS, hiks...)

Areal persawahan (terutama di Jawa) terus merosot dengan tajam. Padahal tanah Jawa adalah lahan terbaik untuk persawahan. Tanpa adanya pencetakan sawah baru dan jaringan irigasi (terutama di luar Jawa) maka swasembada beras akan menjadi sebuah hil yang mustahal.

Konsumsi beras perkapita kita berkisar 120 kg/orang/tahun. Dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa saja, maka kebutuhan menjadi 30 juta ton/tahun atau 2,5 juta ton/bulan. Produksi rata-rata sawah untuk dua kali panen setahun berkisar 7 ton beras/tahun (Dengan syarat tidak ada hama, bencana alam dan saluran irigasi dalam kondisi baik)

Dengan data diatas kita dapat menghitung luas sawah yang dibutuhkan yakni, 30 juta ton/tahun (kebutuhan) dibagi dengan 7 ton beras/tahun (produktivitas sawah) = 4.285.715 Ha. Padahal luas lahan sawah Indonesia pada tahun 2016 berkisar 8,19 juta hektar, terdiri dari 4,78 juta ha sawah irigasi dan 3,4 juta ha non irigasi.

Nah sekarang kita baru bingung! Luas sawah yang dibutuhkan untuk swasembada beras adalah berkisar 4,3 juta hektar, padahal lahan yang tersedia berkisar 8,19 juta hektar. Jawabannya ada dua. Pertama, produktivitas sawah kita memang dibawah standard, karena di Vietnam dan Thailand setiap ha sawah bisa menghasilkan lebih dari 8 ton beras.

Kedua, data luas lahan itu boong-boongan! Artinya datanya fiktif. Kalau ini memang tidak usah heran karena sejak zaman pak Harto kita suka main tebak-tebakan. Soal data ini saya tidak mau pusing. kalau mau tau realita, cukup pergi kepasar Cipinang, sebab pasar tidak bisa berbohong!

Ketika harga beras di atas HET, maka swasembada adalah hil yang mustahal. Ketika harga di bawah HET, artinya pasokan beras surplus. Tapi jangan keburu mengatakan swasembada, sebab bisa saja beras itu adalah eks impor yang sudah expired sehingga harus cepat diobral sebelum kutunya keburu eksis...

Jadi ketika ada yang berkata Piye kabare penak zamanku to.. soalnya dulu kita bisa swasembada beras tapi zaman Jokowi kita harus impor beras, saya tidak ingin berpolemik soal jargon yang sama sekali tidak menyentuh substansinya ini.

Jadi kalau mau ngomongin swasembada, hayo presentasikan bagaimana caranya, berapa luas lahannya dan buat break-down biayanya...

Salam swasembada

Aditya Anggara

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun