Mohon tunggu...
Aditya Anggara
Aditya Anggara Mohon Tunggu... Akuntan - Belajar lewat menulis...

Bio

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Piye Kabare Penak Zamanku To"

24 November 2018   14:27 Diperbarui: 24 November 2018   14:51 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto, sumber : Tribunnews.com

Varietas padi dan musim tanam dilakukan serempak. Tidak seperti sekarang dimana petani bisa sesukanya untuk menanam apa saja, termasuk membiarkan lahannya kosong sama sekali atas nama hak azasi manusia. Kalau dulu ada petani berani berbuat begitu, maka sekonyong-konyong dia akan segera menghilang dari peredaran.

Pada zaman Soeharto, hak azasi manusia belum begitu dikenal. Dulu petani tidak bisa berbuat sesukanya di sawahnya sendiri. Semuanya diatur dengan seksama. Mulai dari benih, penyemaian, pemakaian air hingga panen diatur sedemikian rupa. Hal ini memang sangat baik untuk memaksimalkan hasil panen, dan sekaligus juga memutus rantai hama seperti wereng, tikus dan sebagainya.

Salah satu kunci pokok untuk swasembada memang pada regim kebijakan ini. pemerintah membuat program, dan petani wajib melaksanakannya. Memang terkesan otoriter, tetapi tanpa "disiplin" hasil tidak akan pernah maksimal!

Kedua, Jumlah penduduk

Pada tahun 1970 jumlah penduduk RI masih 119 juta jiwa, dan pada tahun 1980 berkisar 147 juta jiwa. Pada tahun 2018 jumlahnya menjadi 265 juta jiwa. Artinya jumlah pemakan beras bertambah hampir dua kali lipat selama 30 tahun terakhir ini!

Zaman susah dulu masih banyak orang yang makan gaplek, singkong atau jagung. Untuk menghemat beras, orang pakai stagen di pinggang. Jadi makan dikit aja perut sudah kenyang. Kini zaman sudah berubah dimana penduduk banyak mengidap diabetes, jantung, hipertensi dan sebagainya karena terlalu banyak makan dan pola hidup tidak sehat. Ide stagen ini sepertinya cocok diterapkan lagi untuk mengurangi besar lingkar pinggang.

Dengan jumlah penduduk yang sudah bertambah seratusan juta jiwa sejak era swasembada pertama, plus pola hidup hedonis yang sangat konsumtif dari masyarakat, maka teranglah bahwa untuk mencapai swasembada beras seperti dulu lagi itu bukanlah pekerjaan yang mudah.

Ketiga, Luas lahan pertanian

Pada zaman kanak-kanak masih suka jajan getuk lindri dan belum mengenal dunkin donut atau big mac, kalau kita naik kereta dari Anyer hingga Panarukan, maka sepanjang mata memandang tampaklah hamparan sawah menghijau bak permadani yang tergelar dari nirwana hingga ke perut bumi...

Era globalisasi kemudian datang. Pembangunan pabrik, perumahan, infrastruktur termasuk transportasi yang sangat masif kemudian menghilangkan areal sawah hijau tadi. Ini memang sebuah fenomena yang tidak mungkin bisa dihindari. Persis seperti usia yang terus bertambah sekalipun kita melakukan face-lift di wajah untuk membuatnya terlihat muda (jadi teringat RS, hiks...)

Areal persawahan (terutama di Jawa) terus merosot dengan tajam. Padahal tanah Jawa adalah lahan terbaik untuk persawahan. Tanpa adanya pencetakan sawah baru dan jaringan irigasi (terutama di luar Jawa) maka swasembada beras akan menjadi sebuah hil yang mustahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun