Mohon tunggu...
Aditya Anggara
Aditya Anggara Mohon Tunggu... Akuntan - Belajar lewat menulis...

Bio

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketika Saya Bermimpi Menjadi Dirut Bulog

23 September 2018   16:56 Diperbarui: 23 September 2018   17:07 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, ketika Cina, Vietnam dan Thailand panen raya, maka harga beras dunia akan anjlog gila-gilaan. Sebagian karena persoalan gudang juga. Beras baru panen itu harus cepat-cepat masuk ke gudang. Jadi beras di gudang (beras lama) harus dikeluarkan. Beras lama inilah yang kemudian diobral murah.

Apesnya di dalam negeri panennya baru selesai, sehingga gudang Bulog tidak akan bisa menampung gabah petani plus beras murah tadi. Nah kalau gudang Bulog besar, tentu saja persoalan tadi teratasi.  Selama gabah dari petani seluruhnya bisa terserap, tentu saja tidak ada salahnya mencyduk beras obralan itu, jadinya Bulog bisa untung besar juga.

Ketiga, "Yang besar itu selalunya membuat lawan takut" Kalau gudang Bulog besar, apalagi besar kali, maka spekulan tidak akan gegabah bermain karena resikonya sangat besar! Ini sama seperti dalam pertandingan tinju. Kalau bobot spekulan berada di kelas Welter, sementara Bulognya di kelas Heavy weight ala Tyson, maka seketika spekulan itu akan mampoes kalau beradu pukul!

Mengapa selama ini operasi pasar Bulog tidak mampu meredam kenaikan harga? Jawabnya sederhana saja, "barang Bulog itu terlalu kecil!"

Bermodalkan 15 ribu ton beras, Bulog kemudian melakukan operasi pasar untuk menyasar orang miskin yang konon katanya paling terdampak akibat kenaikan harga beras ini.

Orang Bulog itu kemudian heran (atau pura-pura heran) karena daya serap pasar terhadap beras mereka itu sangat sedikit! Mungkin berkisar seribu ton saja perhari. Mereka bingung, kenapa harga beras tetap tinggi, sementara beras operasi pasar Bulog sepi pembeli! Jawabannya bisa kita lihat disini.

Pertama, orang miskin tidak akan tertarik membeli beras Bulog itu karena setiap bulannya mereka ini sudah menerima 15 kg beras bantuan Pemerintah secara gratis! Kedua, Pedagang beras Cipinang tahu betul berapa isi gudang Bulog. Stok beras pedagang kini jauh lebih besar daripada stok Bulog. Itulah sebabnya kontrol berada ditangan pedagang, bukan ditangan Bulog!

Ketiga, pembeli sedikit itu, sama halnya seperti pembeli gas bersubsidi 3 kg yang membeli gasnya pakai mobil, dan jumlahnya tentu saja tidak banyak.

Keempat, Bulog menjual beras ke end-user, jelas saja tidak akan mengkoreksi harga secara keseluruhan. Seharusnya Bulog menjual beras tetap mengikuti jalur distribusi normal, mulai dari Distributor, Agen Besar, Agen Kecil, Grosir lalu Pengecer di pasar.

Kalau Bulog menjual beras ke Distributor, maka harga di Pengecer dan Konsumen jatuhnya juga akan tetap normal juga. Grosir tidak akan berani menaikkan harga ke Pengecer kalau harga yang diterimanya dari Agen tetap normal juga. Demikianlah seterusnya jalur distribusi dari hulu sampai hilir.

Nah sekarang sudah jelas bagi kita mengapa Bulog itu tidak selalu bisa mengontrol harga beras, yaitu karena stok berasnya sedikit. Kenapa tidak diperbanyak? Karena tidak ada gudangnya! Demikian juga halnya dengan gabah petani ketika panen raya tiba. Bulog bukan tidak mau beli gabah, tetapi Bulog tidak tahu mau menyimpan dimana gabah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun